Jumat, 21 Mei 2010

SEJAUH YANG KITA PIKIRKAN !

PENDEWASAAN POLITIK !

kami percaya wakil-wakil kami di parlemen tidak ada yang cengeng.
dan saya yakin betul mereka semua masih memiliki hati nurani.
tapi sayangnya kepercayaan dan keyakinan saya tidak sama dengan apa yang saya harapkan pada pejabat-pejabat eksekutif sekarang.
mereka kelihatan lebih cengeng dan tergambar jelas raut wajah iblis di muka mereka !!
apa yang sebenarnya bisa kami lakukan?!
kami cuma berharap kepada wakil-wakil kami di parlemen jangan terlalu keras memperlakukan pejabat-pejabat eksekutif yang kami cintai itu. mereka bukan pembantu yang dalam arti "Stereotipe" diperlakukan oleh semena-mena oleh majikan.
TIDAK!
kami sangat mencintai mereka..
mereka pembantu kami yang kami yakin betul menguasi apa yang menjadi permasalahan dalam keluarga besar Republik Indonesia ini..
dan tentu saja kami percaya mereka tidak akan sampai hati mau menipu kami (rakyat) yang "notabene" majikan yang sangat sabar, tulus serta ikhlas melihat kelakuan para pejabat-pejabat eksekutif yang sepertinya tidak lagi memegangteguh butir KETUHANAN YANG MAHA ESA yang mana itu butir pertama di PANCASILA sebagai PONDASI rumah keluarga besara Republik Indonesia..
menurut kami sepertinya ada perbedaan paradigma antara legislatif dan eksekutif kita..
dan tentu saja jadi muncul pertanyaan berikutnya dari kami..
BAHAYA atau tidakah perbedaan paradigma antara legislatif dan eksekutif tersebut?!
adakah yang bisa menjawab?!
atau anda cuma bisa menghapal, memajang POSTER PANCASILA..
atau cuma bisa teriak-teriak gak jelas menyerukan PANCASILA ABADI!!!
TENANG BOS!gak perlu emosi..
cukup jawab aja pertanyaan kami?!

-SATMA AMPI USU-
2008-2011

Sabtu, 20 Maret 2010

keadilan sosial

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seperti yang kita lihat dan mungkin kita rasakan sampai saat ini masalah keadilan sosial di indonesia masih menjadi pokok pembahasan yang menarik untuk dikaji. Keadilan sosial di indonesia seperti ada kesalahan sistem dalam menjalankan nya.

Pembahasan tentang keadilan sosial pastilah berkaitan dengan masalah – masalah yang sedang di hadapi negara kita saat ini, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, serta penegakkan hukum yang merata tidak pandang bulu. Tentu saja yang menjadi harapan kita adalah terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang di cita-citakan. Dalam Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, termasuk didalamnya adalah menimbang aspek keadilan sosial. Seperti yang kita lihat, mulai dari jaman sebelum negara ini merdeka, hingga sampai saat ini di masa reformasi seperti ini seakan-akan masalah-masalah keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat di negara tidak ada habisnya. Kita masih sangat sering melihat berita-berita seperti kelaparan, anak-anak tidak mendapatkan pendidikan, pengangguran yang jumlah nya masih sangat mengkhawatirkan, juga masih sering kita melihat atau mendengar fenomena-fenomena bahwa di negara kita ini ada yang tidak terjamin kesehatannya, serta masih minimnya keadilan dilembaga hukum dan peradilan di negara yang tercinta ini. Hasil amandemen UUD 45, Dibentuknya Pemerintahan Negara RI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh takyat Indonesia. Telah pula dinyatakan bahwa hak-hak konstitusional rakyat akan kesejahteraan, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; hidup sejahtera lahir batin; tempat tinggal; lingkungan hidup yang baik dan sehat; pelayanan kesehatan; perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan; jaminan sosial, pemeliharaan oleh negara bagi rakyat yang kurang beruntung perlu diwujudkan. Ini adalah kontrak moral negara terhadap bangsanya, bahwa negara akan menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat indonesia. Itu semualah hal-hal yang membuat pembahasan tentang masalah keadilan sosial menjadi menarik untuk dibahas lebih jauh lagi.

BAB II

Perumusan Masalah

Dengan melihat beberapa fenomena keadilan sosial pada latar belakang diatas, maka saya merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini. Antara lain adalah ;

1. Masalah pendidikan yang berkeadilan sosial.

2. Masalah pelayanan kesehatan masyarakat yang berkeadilan sosial.

BAB III
PEMBAHASAN

Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini, keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan.

Keadilan sosial yang di maksud disini adalah kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya. Artinya bagaimana caranya agar pemerintah bisa menyelenggarakan atau menyediakan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam hal ini pendidikan yang sama rata dan nyata, jaminan kesehatan yang sama rata dan nyata, serta peradilan yang bersih yang sama rata dan nyata.

A. Masalah Pendidikan Yang Berkeadilan Sosial

Pendidikan adalah sarana bagi sebuah bangsa untuk mengembangkan peradabannya. Melalui Pedidikan gegayuhan dianyam dan diretas secara bertahap dan berjenjang. Resultante hasil pendidikan tersebut kemudian akan menentukan masa depan bangsanya.

Tujuan Pendidikan setiap bangsa itu unik karena setiap bangsa itu unik sesuai dengan sejarah keberadaannya, demikian pula dengan Indonesia. Alinea ke-empat dalam Pembukaan UUD 1945 berbunyi:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berkaitan dengan Pendidikan, alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas sekali bahwa tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia mengamanatkan untuk Memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Pendidikan dan Kesejahteraan masyarakat, secara umum, adalah dua hal yang saling berkaitan dan bisa berhubungan secara kausal, serta merupakan lingkaran peri. Maka harapan dilambungkan melalui pendidikan untuk menciptakan lingkaran peri tersebut agar terwujudnya asas dan peradaban yang lebih baik.

Dalam UU Sisdiknas Pasal 31,

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan

membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan

menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Jadi, setiap warga Negara Indonesia di manapun berada berhak untuk memperoleh pendidikan dan hukumnya wajib untuk mengikuti di mana pemerintah wajib pula hukumnya untuk membiayai, karena disadari bahwa pembangunan adalah investasi peradaban bangsa.

Indonesia di samping berupa Negara kepulauan yang lebarnya kurang lebih sama dengan lebar benua Amerika dan lebih lebar dari benua Australia serta tersebar sejak India hingga Jepang, juga tidak lepas dari beban sejarah keberadaannya. Itu semua telah membuahkan keragaman dibidang Ekonomi, Sosial, Adat Istiadat, Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan yang akan membawa pengaruh langsung kepada Kesejahteran Masyaralat dan Pendidikan hingga kini. Menurut Sri Hartati Samhadi [Kompas 16 Sept 2004 Kamis, hal 17] 75% penduduk kategori miskin ada di pedesaan.

Karena demografi Indonesia mempunyai multi keragaman bawaan tersebut maka harus memperhitungkan keragaman tersebut dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ini sifatnya wajib sesuai dengan amanat UU. Ketika transportasi dan komunikasi masih menjadi masalah besar untuk menjangkau penduduk di wilayah-wilayah terpencil dan daerah di luar Jawa serta disparitas pendidikan dan lingkungannya itu ada maka pandangan dan pemikiran yang menepis keberadaan keragaman itu seharusnya lebih dicermati lagi secara arif yang dikaitkan dengankesamaan dalam berkeadilan.

Bersumber dari Media Indonesia (MI), di Cimahi Jawa Barat seorang siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) mendatangi DPRD kota itu meminta bantuan karena menunggak pembayaran uang SPP dan dana sumbangan pembangunan. Kedatangan Rizki yang ditemani ibu kandungnya Komariah, 34, ke gedung DPRD Kota Cimahi, diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Achmad Zulkarnain. “Saya malu, belum bayar SPP selama empat bulan dan uang DSP (dana sumbangan pembangunan). Makanya saya tidak mau ke sekolah,” kata Rizki sambil meneteskan air mata. Ia juga mengatakan terpaksa harus mengikuti ujian akhir semester susulan karena pihak sekolah mewajibkan Rizki membayar lebih dahulu dana DSP minimal Rp1 juta. “Saya tidak memperoleh kartu ujian, sebab yang diberi kartu ujian hanya siswa yang sudah membayar DSP minimal Rp1 juta. Sedangkan saya belum,” kata siswa kelas X SMKN 2 Cimahi itu. Ia mengatakan, karena malu, dirinya pun absen atau tidak masuk sekolah selama 10 hari. Tetapi, karena diberi semangat oleh sekretaris RT, Sutardi, 39, ia akhirnya diantar untuk menguruskan penundaan pembayaran kepada pihak sekolah. “Saya akhrinya bisa ikut ujian, dengan catatan tetap membayar DSP di kemudian hari,” kata Rizki. Sementara itu, Komariah berharap dengan mendatangi dan bertemu anggota DPRD Kota Cimahi cita-cita anaknya untuk menimba ilmu di bangku SMK hingga selesai bisa terwujud.

Melihat kejadian diatas sangatlah jelas bahwa belum berjalan dengan baik sistem keadilan sosial pada pendidikan di indonesia. Keadilan secara umum dikenal dari tiga pespektif yang berbeda, yaitu keadilan distributif, ekonomi, dan hukum. Namun Indonesia dalam cita-cita proklamasinya sudah menegaskan mengenai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan yang memenuhi rasa Keadilan Sosial adalah pendidikan yang memperhatikan keberadaan keragaman baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Oleh karena itu, semua kebijaksanaan pemerintah harus mampu untuk menjadi fondasi yang kokoh bagi kebijaksanaan pendidikan. Kita berharap besar akan kebijaksanaan pemerintah yang kokoh dan meng-Indonesia. Semoga kedepannya seiring dengan berkembangnya jaman pendidikan di negara kita bisa lebih memikirkan asa keadilan sosial untuk seluruh rakyat indonesia.

  1. Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Berkeadilan Sosial

Membahas tentang kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi yunani, asclepius dan higeia. Berdasarkan mitos yunani tersebut asclepius disebutkan sebagai seorang dokter yang tampan dan pandai meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang ditempuh nya, tetapi dikatakan dia dapat melakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit bahkan dapat melakukan bedah berdasarkan prosedur tertentu.

Sedangkan higeia adalah asisten dokter asclepius, yang kemudian dikatakan sebagai istrinya, juga telah melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara asclepius dan higeia dalam pendekatan masalah kesehatan adalah asclepius lebih berorientasi pada saat penyakit itu telah muncul pada seseorang ato masyarakat sedangkan higeia lebih pada pendekatan ke masyarakat untuk menjaga kesehatan dengan memperhatikan lingkungan tempat tinggal masyarakat dan apabila penyakit telah muncul pada seseorang atau masyarakat higeia juga lebih kepada cara-cara alamoah untuk mengobati nya.

Pemahaman saya soal kesehatan di indonesia agar bisa terwujud asas keadilan sosial seharusnya pemerintah bisa lebih berorientasi pada pemeliharaan kesehatan masyarakatnya, dengan memprioritaskan untuk sosialisasi tentang kesehatan yang sangat mahal harganya itu. Dan diharapkan pemerintah juga bisa memanfaatkan kekayaan alam negara ini untuk lebih diarahkan sebagai obat-obatan alamiah untuk masyarakatnya. Sehingga masyarakat bisa merasakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial, khususnya masyarakat yang ekonominya kita katakan kurang beruntung. Dan ini masih ada relevansinya denga pokok pembahasan kita yang awal, yaitu pendidikan. Ketika pendidikan di negara kita telah meningkat tentu harapan kita adalah terjamin nya kesehatan seluruh masyarakat atas asas keadilan sosial tersebut.

Di Indonesia Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pasal 2 :

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan

perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,

penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender

dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Bersumber dari Media Indonesia (MI), di Makassar Sulawesi Selatan empat rumah sakit menolak merawat bayi penderita tumor. Apa kendalanya? Apalagi kalo bukan karena pasien tersebut tidak memiliki biaya.

MAKASSAR—MI: Nasib malang dialami bayi Nurazizah yang masih berusia 3 bulan. Bayi penderita tumor di wajah ini ditolak empat rumah sakit yang ada di Kota Makassar untuk mendapat perawatan.
Hasnah, ibu Nurazizah, mengatakan dirinya merasa dipingpong oleh rumah sakit yang tidak mau menerima anaknya untuk dirawat. “Setiap ke rumah sakit, saya ditolak. Mungkin karena saya tidak punya biaya,” ungkap Hasnah, Selasa (29/12).
Nurazizah, anak kedua Hasnah dari suaminya Iwan, lahir di sebuah gubuk kecil di tengah rawa-rawa di belakang kompleks Minasa Upa Blok A10, Kecamatan Rappocini. Bintik-bintik merah yang berada di pipi kanan anak tersebut mulai tampak saat baru berisia tiga hari. Awalnya tidak terlalu dihiraukan karena diduga gigitan nyamuk, tapi seminggu kemudian, bintik merah tersebut menyatu gelembung merah. Hasna kemudian membawa anaknya ke Puskesmas Minasa Upa. Karena diduga tumor, puskesmas merujunya ke Rumah Sakit Labuangbaji. Berbekal kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Hasna berangkat ke RS Labuang baji, di loket pendaftaran ia diminta menuju ke ruang bedah sentral. Namun Hasnah diminta uang Rp75 juta. “Katanya nanti setelah bayar baru bisa operasi,” terang Hasnah. RS Labuangbaji kemudian merujuk ke RSUD Regional Dr Wahidin Sudirohusodo yang merupakan rumah sakit pemerintah. Di rumah sakit tersebut, Hasnah dimintai uang Rp10 juta. Seperti sebelumnya, karena tidak memiliki uang, Hasnah kembali membawa anaknya pulang. Karena sudah ditolak dua rumah sakit karena tidak punya dana, Hasna pun mencoba peruntungannya di RS Dadi dan RS Haji, Makassar. “Di dua rumah sakit tersebut, jangankan diperiksa, saat sudah saya katakan saya tidak punya biaya kalau untuk operasi, saya langsung disuruh pulang,” kata Hasna sedih. Saat ini tumor yang tumbuh di wajah anaknya itu sudah menyebabkan keluarnya darah dari mata sang anak. Saat dikonfirmasi, Wakil Direktur RS Labuangbaji Nani Dyah Laksmiwati membantah jika pihak rumah sakit Labuangbaji menolak untuk perawatan Nurazizah. Menurutnya RS Labungabaji tidak mempunyai ketersediaan peralatan untuk memberikan tindakan operasi. “Kami akan mengawal kondisi pasien dan meminta rujukan pengobatan untuk diperbaharui kembali,” tandas Nani.

Kutipan berita diatas merupakan wujud nyata belum terlaksana dengan baiknya sistem pelayanan kesehatan masyarakat berkeadilan sosial. Seharusnya pemerintah jika bisa memprioritaskan untuk pencegahan, jika masyarakatnya mengerti soalnya pentingnya kesehatan.

Banyak bukti tak perlu sekaya orang Swiss untuk menjadi sesehat mereka. Banglades salah satunya. Dengan anggaran kesehatan tidak tinggi, Banglades berhasil mendongkrak derajat kesehatan rakyatnya menjadi lebih baik dari kita. Caranya, rakyat dibuat cerdas agar tidak sakit. Gurunya, puskesmas.

Hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan layanan kesehatan swasta. Sebagian besar menggantungkan kesehatannya pada puskesmas. Sudah lama kita mencanangkan paradigma sehat diterjemahkan dalam sejumlah program puskesmas. Kondisi kita lebih kurang sama dengan Banglades. Namun, jika derajat kesehatan kita belum sebagus mereka, apa yang keliru dengan pembangunan kesehatan kita?

Bisa jadi karena peran dokter puskesmas belum kuat. Belum semua program puskesmas utuh berjalan. Harus diakui jika jam kerja dokter puskesmas banyak dihabiskan buat mengobati ketimbang layanan pencegahan.

Jika lapangan yang menjadi wilayah tanggung jawab puskesmas tidak digarap, yang berobat tak kunjung berkurang. Artinya, anggaran puskesmas yang mestinya buat upaya preventif habis buat belanja obat.

Idealnya, dua pertiga jam kerja puskesmas untuk kegiatan lapangan. Mungkin karena kelebihan bobot kerja, minimnya tenaga, atau tiadanya kemauan, rata-rata puskesmas kurang menggarap lapangan.

Dengan swadaya masyarakat, dan banyak lagi. Padahal, itu semua diberlakukannya otonomi daerah diharapkan sektor kesehatan bertambah baik. Yang terjadi sebaliknya. Kita kehilangan kader kesehatan, posyandu, gerakan penunjang terlaksananya primary health care, pilihan termurah yang mampu mendongkrak kesehatan Banglades lebih baik dari kita.

Masalah kesehatan kita sejak awal berhulu dari rendahnya pengetahuan kesehatan sebagian masyarakat, buruknya sanitasi, dan lemahnya ekonomi rata-rata keluarga. Solusinya, penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi). Namun, itu saja tak cukup.

Hambatan komunikasi dan gap edukasi puskesmas-masyarakat mendesak hadirnya petugas kesehatan ke tiap rumah. Puskesmas berperan memampukan masyarakat mencegah penyakit, terlebih di daerah terpencil.

Untuk kondisi kita masalah kesehatan yang kompleks dan luas, bukan Cuma perlu menambah dokter puskesmas, tetapi butuh dokter dengan kualitas khusus. Dokter yang disiapkan menggarap lapangan bersedia berkeliling dari rumah ke rumah (bare foot doctor) seperti China melakukannya di awal-awal pembangunan kesehatan.

Dalam kunjungan rumah, dokter dapat melihat masalah kesehatan tiap keluarga di wilayah tanggung jawabnya. Tiap keluarga mendapat solusi yang belum tentu seragam dengan tetangganya sehubungan dengan peningkatan derajat kesehatannya.

Pada kesempatan sama, dokter memberi nasihat mengisi kekurangan medis terkait dengan kondisi kesehatan masing- masing keluarga atau apa saja sehubungan dengan upaya preventif. Tanpa memilih bersikap menjemput bola, tak semua program puskesmas menyentuh rakyat. Padahal, menjadi sehat itu hak tiap rakyat.

Dengan rutin berkeliling, dokter puskesmas kian mengenal medan sekaligus memetakan masalah kesehatan untuk dicarikan solusinya. Kelemahan rata-rata program kesehatan kita adalah tidak semua program dari pusat menyelesaikan masalah kesehatan daerah. Juga, tak semua program kesehatan daerah menyelesaikan masalah kesehatan kecamatan atau desa.

Munculnya kembali demam berdarah, penyakit kaki gajah, malaria, flu burung secara sporadis di daerah tertentu, misalnya, awalnya masalah lokal desa semata. Namun, karena kemunculannya tak segera diredam, biasanya menunggu perintah pusat, Cuma soal waktu ancaman penyebaran penyakit berkembang menjadi masalah nasional, seperti ledakan demam berdarah tempo hari.

Kehadiran peran “dokter rakyat” berpeluang menemukan dan menyelesaikan semua masalah kesehatan lebih jeli dan cepat di tingkat desa, rukun tetangga, bahkan keluarga.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada makalah ini dapat kita berikan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan berkeadilan sosial di indonesia masih sangat rendah, tidak menutup kemungkinan bahwa adanya kesalahan dalam sistem atau mekanisme untuk mengembangkan pendidikan yang berkeadilan sosial. Itu terlihat pada program yang ada tidak berjalan dengan baik seperti terlihat masih ada kasus yang memberatkan anak didik untuk membayar SPP atau sumbangan pembangunan dengan mengancam tidak dapat mengikuti ujian.

Juga sama halnya dengan pendidikan, kesehatan masyarakat di indonesia pun sepertinya belum berjalan optimal. Masyarakat sangat jarang mendapatkan sosialisasi tentang kesehatan masyarakat agar masyarakat setidaknya bisa mengerti dan faham untuk bisa menjaga kesehatannya dan pemerintah pun belum terlihat optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat belum terlihat adanya keadilan sosial yang merata dalam pelayanan tersebut. Seperti yang terjadi di makasar itu contohnya.

B. Saran

Adapun saran yang ingin saya sampaikan adalah seperti misalnya pada hal pendidikan yang berkeadilan sosial, tentu saja akan bicara soal dana yang bisa dibilang tidak sedikit, namun hal tersebut akan dapat teratasi jika pada dasarnya kita mengerti apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan agar dapat menjalankan sistem berkeadilan sosial tersebut.

Sama halnya dengan dunia pendidikan, dalam hal untuk menyelenggarakan kesehatan masyarakat tentu saja yang menjadi masalah ada dana. Tetapi untuk hal ini agar dapat terwujudnya kesehatan masyarakat yang berkeadilan sosial sebenarnya lebih relevan ke masalah tenaga dokternya, jika kita bisa sperti bangladesh mempersiapkan tenaga dokter yang betul-betul siap mengabdi untuk masyarakat, bisa aja mudah-mudahan kedepannya pemerintah dengan program bea siswa agar bisa menyediakan dokter yang siap mengabdi untuk masyarakatnya sehingga tercipta pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial.

BAB V

REFRENSI

1. http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/21/2306117/latar.belakang.salim.segaf.al.jufri.banyak.berurusan.masalah.sosial.

2. http://www.csrc.or.id/research/index.php?detail=20080626082144

3. http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=777

4. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4560&coid=2&caid=42&gid=3

5. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/1/4b617a630a72f67b990422cadfb0eb0eb1063f4b.pdf

BAB VI

LAMPIRAN

Kamis, 18 Maret 2010

mengenal gender lebih dekat dan singkat

I. DEFINISI GENDER

Gender penting untuk dipahami dan dianalisis untuk melihat apakah perbedaan yang bukan alami ini telah menimbulkan diskriminasi dalam arti perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap perempuan.
Apakah gender telah memposisikan perempuan secara nyata menjadi tidak setara dan menjadi subordinat oleh pihak laki-laki.

Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut. Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja dan media.

Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial. Masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender. (Retno Suharti, 1995)

Gender juga disebut sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang (Fakih, 2007)

Gender adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, tanggung jawab, fungsi, hak, sikap dan perilaku yang telah dikonstruksi oleh sosial atau budaya yang dapat berubah-ubah sesuai kemajuan zaman. Perbedaan tersebut tidak jarang memunculkan permasalahan atau isu gender.

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) secara tegas menyatakan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini :
• Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya
• Gender sebagai suatu kesadaran sosial
• Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya
• Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis
• Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan

II. KONSEP GENDER

Istilah gender sebagai konsep dikenalkan antara lain oleh H.M. Lips dalam bukunya “sex and gender : anintroduction to gender.” Oleh H.M. Lips, gender diperkenalkan sebagai istilah yang diartikan sebagai “cultural expactations for women and men” (harapan kultural untuk perempuan dan laki-laki).

Ada beberapa aliran teori yang menganggap bahwa gender, yaitu pembagia peran dan pembedaan jenis kelamin, terbentuk secara alami karena perbedaan biologisnya (nature), misalnya antara lain :
a. Teori adaptasi awal
Pada prinsipnya teori ini menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual, sekaligus dasar subordinasi perempuan. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi terdahulu antara fungsi laki-laki berburu untuk mencari daging dan wanita tidak melakukan hal tersebut.
b. Teori teknik lingkungan
Teori ini didasarkan pada apa yang dianggap hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya alam dan tekanan penduduk. Teori menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah ada sejak jaman dahulu. Dalam konteks ini perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.

Kemudian ada teori yang beranggapan bahwa pembagian peran dan pembedaan jenis kelamin adalah hasil konstruksi sosial budaya (nurture), seperti :
a. Teori struktural
Teori ini adalah serangkaian teori yang dikelompokkan dalam kategori struktural dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus struktural. Satu kelompok teori yang beranggapan bahwa perempuan berstatus lebih rendah, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki, karena perempuan berhubungan dengan area domestik. Sebaliknya dengan laik-laki, yang bergelut dengan dunia publik. Pembagian bidang kehidupan menjadi arena publik dan domestik ini dianggap universal. Akar dari pembagian ini adalah tanggung jawab perempuan dalam proses kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik.
Kelompok lain dari kategori teori struktural berargumentasi bahwa subordinasi perempuan itu kultural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan alam (nature) dan laki-laki dengan budaya (culture).
b. Teori struktural-fungsionalis
Teori ini muncul tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori ini mengemukakan bagaimana memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan.
Teori ini mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang berlandaskan konsensus nilai-nilai agar terjadinya interrelasi yang demi sesuatu dinamakan harmoni, stabilitas dan keseimbangan(equilibrium). Sistem ini mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai,sehingga fungsi dan struktur seseorang dalam sistem menentukan tercapainya stabilitas atau harmoni tersebut. Ini berlaku untuk semua sistem sosial : agama, pendidikan, struktur politik, samapi rumah tangga, dalam hal ini mengenai gender. Sosialisasi fungsi dan struktur tersebut dilakukan dengan institusionalisasi, melalui norming, atau norma-norma yang disosialisasikan.
c. Teori konflik sosial
Teori ini meyakini bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh konflik. Konflik ini timbuk karena adanya kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Bila salah satu kepentingan yang memiliki kekuasaan memenangkan konflik, maka dia akan menjadi dominan dan melanggengkan sistem sosial yang telah terbentuk.
Teori ini sangat sinis terhadap kekuasaan, kemapanan, sifat borjuis, sistem kapitalis, dan semua hal yang memiliki strata dan struktur. Teori ini juga memandang institusionalisasi sebagai sistem yang melembagakan pemaksaan. Istilah mereka adalah “imperatively coordinate association”, yaitu pemaksaan koordinasi relasi sosial dalam sebuah sistem. Dalam hal ini termasuk juga hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (gender).

Berbicara konsep gender tentu saja ada kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan gender untuk membangun keharmonisan berbangsa, bernegara dan membangun keluarga yang berkualitas, yang mana di indonesia jumlah penduduknya hampir setengah adalah perempuan dan merupakan potensi yang sangat besar dalam menunjang pembangunan.
Adapun yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Maka dengan itu terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Berikut adalah bentuk-bentuk ketidakadilan gender, antara lain :
1. Marjinalisasi
Yaitu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Kebijakan pembangunan, perkembangan teknologi dan anggapan tertentu yang berkembang di masyarakat tak jarang mengakibatkan terjadinya pembatasan dan pemisahan jenis dan peluang pekerjaan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Subordinasi
Yaitu menilai peran jenis kelamin lain lebih rendah, adanya anggapan bahwa tidak perlu memegang jabatan terlalu tinggi.
Pada dasarnya keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sejak lama ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun aturan dalam birokrasi yang menempatkan kaum perempuan dalam tataran subordinat. Perempuan, seperti halnya anak-anak, dianggap sebagai pihak yang hanya dijadikan pengikut saja dalam berbagai aspek kehidupan yang didominasi laki-laki.
3. Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau anggapan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe tak jarang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Stereoyipe suku bangsa, misalnya bangsa yahudi di barat dan masyarakat cina di asia tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut dalam berinteraksi dengan suku bangsa lain. Perempuan pun tak luput dari stereotipe ini. Banyak budaya yang menganggap tugas utam kaum perempuan adalah melayani suami dan mengurus anak-anak saja. Tugas perempuan hanya di wilayah sumur, dapur dan kasur. Contoh lain dari stereotipe gender, seperti penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing lawan jenisnya. Sehingga seringkali dalam kasus-kasus pelecehan seks terhadap perempuan, kaum perempuanlah yang dituding sebagai pemicunya. Dalam hal ini sang korban justru menjadi yang dipersalahkan.
4. Kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kekuatan. Kekerasan terhadap sesama manusia berasal dari banyak sumber, namun salah satu sumbernya adalah anggapan gender. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan kekerasan gender, anatara lain :
1. Perkosaan,termasuk yang terjadi dalam perkawinan
2. Pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga
3. Penyiksaan terhadap organ alat kelamin
4. Pelacuran
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi
6. Pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana
7. Kekerasan terselubung, yaitu memegang atau menyentuh bagian tubuh tertentu dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh
8. Pelecehan seksual, seperti menyampaikan lelucon jorok, membuat malu dengan omongan kotor, menyenggol bagian tubuh tertentu tanpa seizin yang bersangkutan.
5. Beban kerja (double burden)
Anggapan bahwa pekerjaan domestik adalah tanggungjawab kodrati perempuan, seringkali menyebabkan perempuan harus bekerja lebih berat dan lebih lama dibanding laki-laki tanpa memperoleh pengharagaan yang seimbang. Fenomena ini banyak tampak pada kaum miskin, perempuan terpaksa bekerja dengan tetap wajib mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengurus anak dan rumah. Bagi kelas menengah dan orang kaya, beban ini biasanya dialihkan pada pembantu rumah tangga.

Faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender :
1. Nilai sosial dan budaya patriarkhi
2. Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender
3. Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial
4. Kelemahan kurang percaya diri, tekad dan inkonsistensi kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasibnya.

III. PENGARUSUTAMAAN GENDER

Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan orogram yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
1. Cakupan dan batasan
Untuk mengetahui lebih dalam lagi terkait pengarusutamaan gender maka yang perlu dilakukan yaitu memahami pengarusutamaan gender (PUG) dalam kebijakan dan program sektoral, yaitu :
a. Memasukkan permasalahan gender dalam program pembangunan
b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan
c. Suatu usaha untuk memasukkan kerangka gender kedalam desain, pelaksanaan rencana dan program sektoral
d. Pengakuan adanya suatu arus utama dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan
e. Bukan hanya memadukan isu gender kedalam arusutama (mainstream), tetapi mengubah arusutama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan
Dalam lampiran instruksi presiden RI No. 9 Tahun 2000, dapat disimak, bahwa beberapa pengertian tentang pengarusutamaan gender (PUG) telah disusun dan dikembangkan oleh berbagai pihak. Laporan dewan ekonomi PBB 1997, menyebutkan bahwa PUG adalah suatu proses penilaian implikasi dari setiap rencana aksi bagi perempuan dan laki-laki, mencakup aturan, kebijakan-kebijakan atau program-program pada tiap bidang disemua tingkatan pembangunan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat membuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu :
a. Perencanaan
Menyusun pernyataan dan tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki
b. Pelaksanaan
Memastikan bahwa strategi yang dijelaskan memiliki dampak pada perempuan dan laki-laki
c. Pemantauan
Mengukur pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.
d. Penilaian (evaluasi)
Memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih setara/seimbang sebagai hasil prakarsa tersebut.
2. Siapa yang melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG)
Adapun yang melaksanakannya antara lain sebagai berikut :
a. Lembaga- lembaga pemerintah
b. Dunia usaha
c. LSM/ organisasi perempuan
d. Organisasi swasta
e. Organisasi profesi
f. Organisasi keagamaan
3. Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG)
Beberapa pelaksanaan dalam pengarusutamaan gender, antara lain ialah :
a. Analisis gender
Dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidaknya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahan.
b. Upaya komunikasi, informasi dan edukasi
Dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah tentang gender.
Dalam hal ini ada beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, yaitu :
1. Sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan workshop
2. Pelatihan, fasilitas gender analysis dan gender budget
3. Fasilitas penyusunanrencana tahunan sektor, renstra dan rencana tahunan daerah
4. Pembuatan data terpilah sektor plus gender profile
5. Menyusun modul pelatihan, modul komunikasi informasi dan edukasi serta panduan pengarusutamaan gender (PUG)
6. Melakukan kajian/evaluasi dan pengembangan bidang strategis dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender
7. Koordinasi, monitoring dan evaluasi
4. Prinsip penerapan pengarusutamaan gender di indonesia
Kementerian permberdayaan perempuan, dalam mensosialisasikan PUG dan penerapannya di indonesia mengenai prinsip yang mengacu pada teori-teori gender sebgai berikut :
a. Menghargai keragaman pluralistis
Yaitu menerima keragaman etnis budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan potensial dan keragaman yang perlu dipertahankan didalam pengarusutamaan gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.
b. Bukan pendekatan dikotomis
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.
c. Melalui proses pemampuan sosialisasi dan advokasi
Prinsip yang penting dalam PUG di indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi.
Pelaksanaan PUG tidak semudah membalikan telapak tangan atau ibarat memakan “cabe” begitu digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
d. Menjunjung nilai HAM dan demokrasi
Pendekatan PUG di indonesia tifak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Penerapan PUG selalu menjunjung tinggi nilai-nilai hak azasi manusia dan demokrasi, sehingga akan diterimaoleh lapisan masyarakat secara sadar.
5. Ruang lingkup pengarusutamaan gender
Ruang lingkup pengarusutamaan gender mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan secara rasional baik dalam tahapan membuat kebijakan maupun program, di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Perencanaan kebijakan merupakan penentuan tujuan dan sasaran pembanguan, sedangkan perencanaan program merupakan operasionalisasi dari kewenangan pemerintah yang dilakukan pada setiap lingkup pemerintahan diberbagai tingkatan wilayah.
Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan lainnya yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek seperti : peran, akses, manfaat dan kontrol yang dilakukan secara setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini berarti bahwa perencanaan tersebut perlu mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, dan permasalahanpihak perempuan maupun laki-laki, baik dalam proses penyusunannya maupun pelaksanaan kegiatan, sehingga perencanaan ini aka terkait dalam perencanaan kebijakan maupun perencanaan program sampai operasionalisasinya dilapangan.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan PUG perlu didukung dan diefektifkan dengan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemampuan para pelaksana pengarusutamaan gender
2. Peyusunan perangkat analisis, pemantauan, dan penilaian
3. Pembentukan pelaksana PUG, antara lain :
a. Forum komunikasi
b. Kelompok kerja
c. Panitia pengarah (steering committee)
d. Tim penggerak PUG (gender focal point)
4. Pembuatan kebijakan formal yang mampu mengembangkan komitmen kesegenapan jajaran pemerintah dan swasta serta disemua tingkatan, propinsi, kabupaten dan kota. Pembentukan mekanisme jejaring kerja yang melibatkan semua stakeholders dalam proses PUG.
5. Pembentukan kelembagaan PUG pada instansi pemerintah disetiap tingkatan wilayah.
Mekanisme kerja instansi pemerintah dalam melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG) :
a. Penanggung jawab dan perumus kebijakan tentang pengarusutamaan gender secara nasional dilakukan oleh kementerian pemberdayaan perempuan.
b. Pelaksana pengarusutamaan gender dilakukan oleh semua instansi pemerintah tingkat pusat, pemerintah daerah dan LSM yang peduli pada kesetaraan dan keadilan gender.
c. Penanggung jawab operasional di tingkat daerah dipegang oleh gubernur atau bupati/walikota yang secara teknis dilaksanakan oleh biro/bagian/seksi yang menangani program pemberdayaan perempuan didaerah.
d. Kerjasama koordinasi antara institusi dan LSM melalui kelompok kerja untuk menyatukan langkah dan mengevaluasi pelaksanaan PUG guna dilaporkan kepada bupati/walikota, gubernur dan presiden.
c. Pemantauan dan evaluasi
Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang sudah disusun (direncanakan) perlu dipantau dan dievaluasi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
• Dapat dipertanggung jawabkan
• Tepat waktu
• Sederhana : efektif dan efisien (tepat guna)
• Transparan, dapat dipercaya dengan data yang valid
• Menggunakan data terpilah menurut jenis kelamin
• Adanya indikator dan tolok ukur
Pemantauan dan evaluasi PUG mencakup pertanyaan-pertanyaan :
a. Sejauh mana prakondisi dan komponen kunci PUG telah ada.
b. Sejauh mana perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber-sumber daya dan fasilitas-fasilitas serta pelayanan-pelayanan kegiatan.
c. Sejauh mana para staf, mitra kerja, kelompok sasaran, baik perempuan atau laki-laki telah atau belum berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta dalam pelaksanaan program.
d. Sejauh mana kinerja kegiatan staf telah responsif gender.

6. Prosedur dan langkah-langkah PUG
Dalam melaksanakan PUG beberapa hal/prosedur harus diperhatikan, yaitu :
a. Inventarisasi pendataan peserta pelatihan/advokator.
b. Melaksanakan pelatihan.advokasi untuk memberi kepekaan dan kesadaran gender bagi para pengambil kebijakan maupun praktisi pembangunan.
c. Memahami visi, misi dan program organisasi, serta menilai kepekaan gender yang terkandung di dalamnya.
d. Mengembangkan strategi operasioanl dan program aksi dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan organisasi.
e. Menyediakan pangkalan data yang akurat yang dikumpulkan dan disajikan secara terpilah menurut jenis kelamin. Data dimaksud dikumpulkan baik oleh BPS maupun oleh masing-masing sektor/departemen/lembaga, yang secara rutin diperbaharui.
f. Menyediakan data statistik gender yang muncul karen permasalahan ketimpangan di dalam memperoleh akses, manfaat peran dan kontrol atas sumber daya pembangunan, sekaligus memahami penyebab masalah kesenjangan tersebut.
g. Menyediakan piranti analisis gender.
h. Menyusun atau menyediakan indikator yang sensitif gender, baik yang kuantitatif maupun kualitatif dalam rangka mekanisme pemantauan dan penilaian.
Berdasarkan prosedur diatas, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pengarusutamaan gender adalah sebagai berikut :
a. Meninjau dan menelaah kembali amanat dan pesan yang terkandung dalam berbagai kesepakatan nasional maupun internasional, misalnya PROPENAS, ICPD dan lain-lain.
b. Mempelajari statistik gender yang perlu ditangani dan memformulasikan cara menanganinya.
c. Mengidentifikasi masalah gender yang mempengaruhi program dan kegiatan.
d. Meninjau kembali berbagai kebijakan, visi, misi dan tujuan organisasi untuk menilai :
• Buta gender : tidak memperhatikan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda, atau tidak menyebutkan secara ekplisit perempuan dan laki-laki.
• Bias gender : kebijakan dan program yang mementingkan laki-laki, dan sama sekali mengabaikan perempuan atau sebaliknya.
• Manfaat gender : sejauh mana perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat manfaat dari program dan kegiatan tersebut.
e. Kalau ada bias, formulasikan kembali secara eksplisit kebijakan dan program tersebut untuk memastikan bahwa manfaat yang sama akan diperoleh laki-laki dan perempuan.
f. Untuk setiap pertanyaan dan rencana kebijakan, tunjukkan kegiatan utama yang harus dilakukan agar tecapai tujuan kebijakan. Tugas-tugas, peran dan tanggung jawab semua pihak harus teridentifikasi.
g. Paparkan advokasi kebijakan, rencana, tujuan dan kegiatan yang telah direvisi, kepada pejabat berwenang untuk memperoleh komitmen dan dukungan politik untuk membentuk gender focal points serta alokasi sumber daya bagi pelaksanaannya.
h. Adakan sosialisasi suatu pertemuan orientasi dengan staf yang bersangkutan untuk memberitahukan tentang kebijakan secara sektoral yang sudah direvisi.
i. Susun gender focal point pada setiap departemen yang terdiri dari wakil-wakil setiap unsur departemen (jumlah perempuan dan laki-laki yang seimbang) dengan mandat berikut :
• Meninjau kembali kebijakan dan rencana yang direvisi.
• Operasionalisasi kebijakan dan rencana.
• Memantau pelaksanaan rencana.
• Mengumpan balik penemuan-penemuan pada pejabat yang berwenang.
j. Menyusun petunjuk pelaksanaan kebijakan dan program aksi.
7. Identifikasi permasalahan gender
Permasalahan gender dapat ditinjau dari empat aspek, meliputi :
a. Sosial budaya
Kondisi yang diciptakan atau direkayasa oleh norma (adat istiadat) yang membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kemampuan. Baik kemampuan universal seperti intelektual maupun kemampuan spesifik (khusus) yang berkaitan dengan aspek pisik biologis.
b. Agama
Penafsiran yang berbeda atau pemahaman yang kurang lengkap terhadap dalil agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan agar mencapai suasana yang harmonis, damai dan sejahtera.
Agama mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan tuhannya maupun mengatur hubungan horizontal anatara sesamanya.
c. Ekonomi adanya anggapan bahwa perempuan dengan bentuk dan keterbatasan pisik biologis ikut dikondisikan sebagai makhluk yang kurang produktif dalam bidang ekonomi, sedangkan laki-laki dikondisikan sebagai unsur pencari nafkah yang lebih produktif. Sehubungan dengan itu laki-laki memperoleh kesempatan untuk berperan dalam berbagai sumber pembangunan. di indonesia, dalam tumah tangga perempuan dipolakan sebagai unsur pengatur/pengguna penghasilan suamin (laki-laki), dengan pembagian tugas antara yang menghasilkan dan yang mengatur pengeluaran.
d. Peraturan perundang-undangan
Secara hukum menurut UUD 1945 laki-laki dan perempuan sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan dan membela negara. Namun bila diamati secara teliti dan cermat dari ketentuan dasar tersebut masih dirasakan adanya pembedaan (diskriminasi) terhadap kaum perempuan dalam berbagau hal, antara lain dalam kesempatan pendidikan, perlakuan dan penggajian di tempat kerja, perlindungan terhadap tindak kekerasan termasuk hak-hak reproduksinya.

IV. MENGAPA PENGARUSUTAMAAN GENDER ITU PERLU

Pengarusutamaan gender diperlukan agar terwujudnya hal berikut :
a. Pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada rakyatnya, perempuan dan laki-laki.
b. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi semua rakyat, perempuan dan laki-laki.
c. Pengarusutamaan gender merupakan upaya menegakan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan dan penghargaan yang sama dimasyarakat.
d. Pengarusutamaan gender mengantar kepada pencapaian kesetaraan gender dan karenanya PUG meningkatkan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya.
e. Keberhasilan pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial politik dan ekonomi suatu bangsa.
Bicara soal apa keperluan dalam hal pengarusutamaan gender itu artinya kita membahas apa sebenarnya tujuan dan sasaran pengarusutamaan gender. Seperti tercantum dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000, tujuan PUG adalah :
a. Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender.
b. Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasim sebagai dampak bias gender.
c. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melaksanakan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
Sasaran PUG
PUG akan berhasil jika secara konsisten dan bertanggung jawab dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat bauk yang bergabung dalam lembaga pemerintah (departemen dan non departemen), organisasi perempuan, LSM, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Para pelaksana dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan sasaran utama dari PUG seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000. Dengan kewenangan yang dimiliki, sumber daya manusia (SDM) yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan yang berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan (policy maker), dan perencanaan program (technical planning), lembaga-lembaga pemerintah mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya. Begitu pula LSM/organisasi perempuan, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi keagamaan dan lain sebagainya, adalah organisasi yang sangat menguasai keadaan di lapangan dan dekat dengan masyarakat.
Beberapa keuntungan menyelenggarakan PUG adalah :
a. Memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan.
b. Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan.
c. Memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan.
d. Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

dasar-dasar struktur organisasi

dasar-dasar struktur organisasi

I. Pendahuluan

Pada makalah ini akan membahas tentang dasar-dasar struktur organisasi, apa saja yang menjadi fondasi-fondasi struktur organisasi. Secara spesifik makalah ini akan membahas mulai dari definisi struktur organisasi dan unsur-unsur penting yang harus disampaikan dalam merancang struktur organisasi yaitu meliputi Spesialisasi Kerja, Departementalisasi, Rantai Komando, Rentang Kendali, Sentralisasi dan Desentralisasi hingga Formalisasi.
Diharapkan setelah membaca makalah ini kita dapat memahami semua dasar-dasar struktur organisasi dan dapat menentukan desain struktur yang bagaimana yang baik untuk suatu organisasi.

II. Pemabahasan

Definisi Struktur Organisasi

Struktur organisasi mendefinisikan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal.
Struktur organisasi juga dapat di definisikan adalah suatu keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasakan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi.
Struktur suatu organisasi menggambarkan bagaimana organisasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orang dan antar kelompok.
Struktur suatu organisasi ada kaitannya dengan tujuan, sebab struktur organisasi itu adalah cara organisasi itu mengatur dirinya untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapainya.


Spesialisasi Kerja

Spesialisasi kerja berarti memberikan tugas yang spesifik dan berulang.
Dengan memecah pekerjaan menjadi tugas-tugas kecil yang dibakukan, yang dapat dilakukan berulang-ulang, dengan begitu pekerjaan diharapkan dapat lebih efisien. Atau dengan kata lain spesialisasi pekerjaan ialah sampai tingkat mana tugas dalam organisasi dipecah-pecah menjadi pekerjaan terpisah-pisah. Jadi spesialisasi kerja bukan keseluruhan pekerjaan dilakukan oleh satu individu, melainkan seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah, dan setiap langkahnya diselesaikan oleh individu yang berlainan. Individu-individu berspesialisasi dalam mengerjakan bagian langkah kegiatan tertentu, bukannya mengerjakan seluruh kegiatan. Spesialisasi kerja yang tinggi juga bisa digunakan sebagai suatu cara untuk memanfaatkan keterampilan karyawan secara paling efisien. Dalam sebagian besar organisasi, sejumlah tugas menuntut keterampilan yang tinggi, yang lain dapat dikerjakan oleh mereka yang tidak terlatih. Semua karyawan dituntut harus mempunyai keterampilan yang diperlukan untuk melakukan baik itu pekerjaan yang paling menuntut maupun yang paling tidak menuntut keterampilan, akibatnya, kecuali bila melakukan tugas yang paling canggih atau paling terampil, para karyawan akan bekerja di bawah tingkat keterampilannya. Dan karena buruh terampil dibayar lebih tinggi keterampilan, hal itu menggambarkan pemanfaatan yang tidak efisien atas sumberdaya organisasi karena membayar mahal pekerja yang sangat terampil untuk mengerjakan tugas yang mudah.
Efisiensi lain yang dapat dicapai melalui spesialisasi kerja yaitu keterampilan karyawan untuk menjalankan tugas tertentu dengan sukses meningkat melaui pengulangan. Diperlukan sedikit waktu untuk bertukar tugas, untuk menyingkirkan peralatan dari langkah tertentu sebelumnya dalam proses kerja itu, dan untuk mempersiapkan diri ke langkah berikutnya. Yang juga penting, pelatihan untuk spesialisasi lebih efisien dari perspektif organisasi. Lebih mudah dan lebih murah menemukan dan melatih karyawan guna melakukan tugas-tugas yang khusus dan berulang. Ini sangat benar untuk operasi yang sangat rumit dan canggih. Misalnya, dapatkah cessna menghasilkan jet citation setahun jika satu orang harus membangun seluruh pesawat terbang itu sendiri? Tidak mungkin! Akhirnya, spesialisasi kerja meningkatkan efisiensi dan produktivitas dengan mendorong penciptaan temuan-temuan dan mesin khusus.
Selama sebagian besar paruh pertama abad ke-20, spesialisasi kerja dipandang sebagai sumber peningkatan produktivitas yang tidak habis-habisnya, karena spesialisasi kerja tidak dipraktikkan secara meluas, penggunaan pertama kalinya hampir selalu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi. Tetapi menjelang dasawarsa 1960-an, bertambah banyak bukti bahwa hal baik itu bisa menghanyutkan. Muncul tekanan dari spesialisasi itu pada diri manusia dalam bentuk kebosanan, kelelahan, stres, produktivitas rendah, kualitas buruk, peningkatan kemangkiran, dan tingginya angka pengunduran diri lebih besar dari pada keuntungan ekonomis. Dalam kasus semacam itu, produktivitas dapat ditingkatkan dengan meluaskan, bukan menyempitkan lingkup kegiatan pekerjaan. Artinya dengan memberikan berbagai kegiatan, memberikan kesempatan melakukan pekerjaan keseluruhan secara lengkap, dan dengan memasang anggota/karyawan kedalam tim-tim dengan keterampilan yang dapat saling dipertukarkan, sehingga dapat membuat mereka menghasilkan keluaran yang jauh lebih besar dengan kepuasaan anggota/karyawan yang meningkat.
Dewasa ini spesialisasi kerja tidak lagi dipandang sebagai sumber peningkatan produktivitas yang tidak habis-habisnya. Manfaat ekonomi yang diberikan oleh spesialisasi kerja dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu dan masalah-masalah akan timbul bila itu dilaksanakan terlalu jauh.


Departementalisasi

Departementalisasi berarti dasar yang dipakai untuk pengelompokkan pekerjaan.
Setelah kita membagi-bagi pekerjaan melalui sepialisasi kerja, kita perlu mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan ini sehingga tugas yang sama/mirip dapat dikoordinasikan.
Salah satu cara yang paling populer untuk mengelompokkan kegiatan adalah pengelompokkan menurut fungsi yang dijalankan. Fungsi-fungsi tersebut dimaksudkan dapat mencerminkan sasaran dan kegiatan organisasi itu. Keunggulan utama dari tipe pengelompokkan ini adalah tercapainya efisiensi dengan mengumpulkan spesialis yang sama. Departementalisasi fungsional mengusahakan tercapainya skala ekonomi dengan menempatkan orang melalui keterampilan dan orientasi yang sama kedalam unit-unit bersama.
Tugas juga dapat didepartementalisasikan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan organisasi itu. Artinya setiap jenis-jenis produk akan ditempatkan dibawah wewenang eksekutif tertentu yang akan menyelesaikan tanggung jawab global untuk jenis produk tersebut. Keuntungan utama dari tipe pengelompokkan ini adalah meningkatnya tanggung jawab atas kinerja produk, karena semua kegiatan yang terkait dengan produk spesifik berada dibawah pengarahan tunggal.
Cara lain untuk melakukan departementalisasi adalah atas dasar geografi atau teritori. Apabila pelanggan organisasi tersebar ke area geografi yang luas, maka bentuk departementalisasi ini akan dapat bernilai.
Misalnya, terdapat pelanggan di kawasan barat, selatan, barat-tengah, dan timur. Dengan demikiant tiap kawasan ini merupakan departemen yang diorganisir berdasarkan lingkup geografi. Proses departementalisasi dapat digunakan untuk memproses pelanggan maupun produk.
Kategori terakhir dari departementalisasi adalah digunakannya tipe tertentu dari pelanggan yang ingin dicapai organisasi tersebut. Asumsi yang melandasi departementalisasi pelanggan adalah bahwa pelanggan di masing-masing departemen memiliki serangkaian masalah bersama dan kebutuhan-kebutuhan bersama yang dapat sangat baik dicapai dengan memiliki spesialis untuk masing-masingnya. Jadi artinya organisasi yang besar dapat menggunakan semua ragam departementalisasi yang telah kita deskripsikan di atas. Seperti misalnya melalui membentuk tim lintas-fungsional, yang mana agar setiap aspek kerja klien ditangani oleh satu tim dan bukannya oleh departemen yang terpisah.








Rantai Komando

Rantai komando merupakan garis wewenang yang tidak terputus yang terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor ke siapa. Jadi rantai inilah yang mempermudah karyawan/anggota organisasi karena jadi mengerti kemana anggota/karyawan tersebut jika menemukan masalah, dan kepada siapa pula anggota/karyawan tersebut bertanggung jawab.
Ada dua konsep komplementer yang harus dibahas sebelum membahas lebih jauh tentang rantai komando, yaitu :
Yang pertama Wewenang, mengacu pada hak-hak yang inheren dalam posisi manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah tersebut dipatuhi. Untuk mempermudah koordinasi, posisi manajerial diberi tempat dalam rantai komando, dan tiap manajer diberi derajat wewenang agar mampu memenuhi tanggung jawabnya.
Dan yang kedua asas Kesatuan Komando, membantu mengamankan konsep garis wewenang yang tidak terputuskan. Kesatuan ini menyatakan bahwa seseorang seharusnya mempunyai satu dan hanya satu atasan yang kepadanya ia bertanggung jawab langsung. Jika kesatuan komando ini putus, bawahan mungkin harus berurusan dengan tuntutan atau prioritas beberapa atasan yang berkonflik.
Waktu berubah demikian pula ajaran dasar desain organisasi. Konsep rantai komando, wewenang, dan kesatuan komando telah sangat kurang relevan dewasa ini karena kemajuan teknologi komputer dan kecenderungan ke arah pemberdayaan karyawan/anggota organisasi. Sebagai contoh, dewasa ini karyawan/anggota dapat mengakses informasi dalam hitungan detik yang 30 tahun yang lalu hanya tersedia bagi pimpinan. Selain itu konsep wewenang dan penyelenggaraan rantai komando semakin kurang relevan karena karyawan/anggota operasional diberdayakan sehingga mampu mengambil keputusan yang sebelumnya di khususkan untuk manajemen.
Selain itu, popularitas tim swa-manajemen dan tim lintas-fungsi dan penciptaan rancangan struktural baru yang mencakup multi-bos, dan konsep kesatuan komando dianggap kurang relevan. Tentu saja masih ada banyak yang merasa mereka dapat menjadi produktif dengan mendorong rantai komando. Tampaknya semakin sedikit orang semacam itu dewasa ini.
Artinya mayoritas organisasi-organisasi besar telah menyatakan bahwa konsep rantai komando ini tidak begitu baik dengan perkembangan jaman.









Rentang Kendali

Rentang kendali berarti jumlah bawahan yang dapat diatur manajer secara efektif dan efisien.
Yang menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus dimiliki oleh organisasi. Bila semua hal sama, makin luas atau besar rentang itu, makin efisien organisasi tersebut.
Rentang yang lebih lebar memiliki keunggulan lebih efisien dalam hal biaya. Tetapi pada pihak lain rentang yang lebih lebar akan mengurangi keefektifan. Artinya bila rentang itu menjadi terlalu besar, kinerja karyawan akan menjadi korban karena pimpinan tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk memberikan kepemimpinan dan dukungan yang diperlukan kepada karyawan/anggota organisasi tersebut.
Adapun keuntungan dari rentang yang kecil, dengan menyelenggarakan kendali dari lima atau enam anggota/karyawan, pimpinan dapat menyelengarakan pengendalian yang ketat. Namun rentang yang kecil mempunyai tiga kekurangan utama. Pertama, rentang ini mahal karena menambah tingkat-tingkat manajemen. Kedua, rentang ini membuat komunikasi vertikal dalam organisasi menjadi rumit. Tingkat-tingkat hirarki tambahan memperlambat pengambilan keputusan dan cenderung mengucilkan manajemen atas. Ketiga, rentang kendali yang kecil mendorong pengwasan ketat yang berlebihan dan tidak mendorong otonomi karyawan/anggota organisasi tersebut.
Kecenderungan dalam tahun-tahun terakhir adalah kearah rentang kendali yang lebih lebar. Rentang kendali yang lebar konsisten dengan upaya untuk mengurangi buaya, menekan overhead, mempercepat pengambilan keputusan, meningkatkan keluwesan, mendekatkan diri ke pelanggan, dan memberdayakan anggota/karyawan. Tetapi untuk menjamin bahwa kinerja tidak menjadi korban karena rentang yang lebih lebar ini, organisasi-organisasi melakukan investasi yang besar dalam pelatihan karyawan. Jadi karena kelemahan rentang yang lebih lebar ini kurang cukupnya waktu untuk memberikan dukungan kepada anggota/karyawan maka dilakukanlah semacam pelatihan baik itu dilakukan ditempat organisasi tersebut atau keluar organisasi.


Sentralisasi dan Desentralisasi

Sentralisasi berarti mengacu pada tingkat di mana pengambilan keputusan dipusatkan pada titik tunggal dalam organisasi.
Dengan kata lain bahwa jika manajemen puncak mengambil keputusan utama organisasi melibatkan sedikit atau sama sekali tidak melibatkan masukan dari anggota tingkat bawah itu berarti organisasi tersebut tersentralisasikan.
Sebaliknya, makin banyak anggota tingkat bawah memberikan masukan atau diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan berarti makin ada desentralisasi.
Organisasi yang dicirikan oleh sentralisasi merupakan benda struktural yang secara inheren berbeda dari organisasi yang didesentralisasikan. Dalam organisasi yang terdesentralisasi, tindakan dapat diambil lebih cepat unutk memecahkan masalah, lebih banyak orang memberikan masukan kedalam keputusan, dan makin kecil kemungkinan para anggota/karyawan merasa diasingkan dari pengambilan keputusan yang mana menyangkut kehidupan kerja mereka juga. Karena ketika karyawan/anggota diberi peluang untuk mengeluarkan ide-ide dan sarannya dalam proses pengambilan keputusan, maka keputusan yang dihasilkan pun cenderung lebih berkualitas. Dalam banyak situasi, anggota/karyawan jauh lebih akrab dengan situasi kerja dan lebih paham akan berbagai dampak yang mungkin timbul daripada jajaran pimpinan. Jadi kesimpulannya, tidak menyertakan karyawan/anggota dalam proses pengambilan keputusan sama saja dengan menyia-nyiakan sumber masukan yang sangat berharga dan disaat harus membuat perubahan, kesalahan besar adalah tidak menyertakan karyawan/anggota dalam proses perubahan itu sejak awal.
Konsisten dengan upaya manajemen akhir-akhir ini untuk membuat organisasi lebih fleksibel dan tanggap, telah terdapat kecenderungan yang nyata ke arah desentralisasi pengambilan keputusan.
Secara alamiah, beberapa pekerjaan saling bergantung satu sam lain, dan mengharuskan anggota/karyawan hadir selama hari kerja penuh. Akan tetapi, masid ada banyak sekali pekerjaan yang tak terhitung banyaknya yang bisa di tangani secara lebih fleksibel, mungkin pekerjaan yang karyawan hanya perlu hadir selama jam-jam tertentu saja.
Pimpinan dalam sebuah organisasi juga harus tanggap, seperti melakukan langkah yang sangat berani untuk memahami anggota/karyawannya secara individu, khususnya berkaitan dengan kebutuhan, kemampuan, kekuatan dan tujuannya.


Formalisasi

Formalisasi berarti mengacu pada tingkat di mana pekerjaan di dalam organisasi itu dibakukan.
Jika pekerjaan sangat diformalkan, pelaksanaan pekerjaan itu mempunyai kuantitas keleluasaan yang minimun mengenai apa yang harus dikerjakan, kapan harus dikerjakan, dan bagaimana seharusnya mengerjakannya. Para anggota/karyawan dapat diharapkan agar selalu menangani masukan yang sama dalam cara yang persis sama, yang menghasilkan keluaran yang konsisten dan seragam. Dimana terdapat formalisasi yang tinggi, disitu terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak aturan organisasi, dan prosedur yang terdefinisi dengan jelas yang meliputi proses kerja dalam organisasi. Dimana formalisasi itu rendah, perilaku kerja relatif tidak terprogram dan para anggota/karyawan mempunyai banyak kebebasan untuk menjalankan keleluasaan dalam kerja. Karena keleluasan individu pada pekerjaan itu berbanding terbalik dengan banyaknya perilaku dalam pekerjaan yang diprogramkan sebelumnya oleh organisasi, semakin besar pembakuan itu, semakin sedikit masukan dari pihak anggota/karyawan yang berkenaan dengan cara pekerjaan itu harus dilakukan. Pembakuan tidak hanya menyingkirkan kemungkinan karyawan menjalankan perilaku alternatif, melainkan juga bahkan membuat anggota/karyawan tidak merasa perlu mempertimbangkan alternatif-alternatif.
Bicara soal formalisasi tentu saja berkaitan dengan pengakuan terhadap anggota/karyawan di sebuah organisasi, dalam hal ini ada pengakuan yang bersifat formal yang juga bisa menghasilkan pengaruh yang mampu memacu perilaku, motivasi, dan kinerja anngota/karyawan.
Dalam program-program ini, biasanya disebutkan berbagai perilaku yang diinginkan dan hasil yang harus diraih, selain itu anggota/karyawan juga diberi gambaran yang sangat jelas tentang ganjaran apa yang akan mereka dapatkan apabila harapan yang disebutkan tadi dapat terpenuhi.
Pada masa-masa awal diberlakukannya program pengakuan ini, sebagian besar program ini didasarkan atas masa kerja anggota/karyawan pada sebuah organisasi. Pada jaman itu, anggota/karyawan yang memiliki masa kerja selama lima tahun akan mendapatkan sebuah pin atau pulpen, dan dengan masa kerja 35 tahun, mereka bisa mendapatkan jam tangan emas misalnya. Tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi banyak sekali perubahan bukan hanya pada sikap anggota/karyawan terhadap masa kerja jangka panjang, akan tetapi juga menyangkut perilaku organisasi terhadap program-program pengakuan formal.
Selain pengakuan yang bersifat formal ada juga pengakuan informal yang merupakan langkah spontan dan menyenangkan untuk membuat anggota/karyawan kita melihat dan mendengar betapa besar pengharagaan kita terhadap apa yang selama ini mereka lakukan. Jenis pengakuan ini seringkali merupakan jenis pengakuan termurah, karen pengakuan jenis ini bisa sangat sederhana misalnya memberikan ucapan terima kasih atau pujian terhadap kinerja anggota/karyawan.
Pengakuan semacam ini paling tepat diberikan segera setelah perilaku positif dikerjakan. Dan lebih jauh lagi, dampak yang ditimbulkannya akan jauh lebih besar apabila disampaikan didepan anggota tim lainnya. Andai hal ini tidak mudah atau sulit dikerjakan, kita harus memastikan bahwa anggota tim lainnya setidaknya mendengar tindakan yang telah kita lakukan.

Variabel Struktur

1. UKURAN (SIZE) :
- makin besar akan semakin komplek impersonal, semakin
lugas , semakin sulit diarahkan, semakin sulit dipadukan.
- ukuran menciptakan dilemma.
- tak ada yang tahu ukuran yang optimum.
2. JUMLAH TINGKATAN HIRARKHI :
- Kalau terlalu banyak bisa timbul kesulitan komunikasi vertikal.
- Sebaiknya tak terlalu banyak.
- Perhatikan efektivitas komunikasi.
3. STRUKTUR KEWENANGAN :
- Orang-orang yang punya kewenangan membuat keputusan bagi
organisasi.
- Siapa saja yang termasuk dalam struktur ?
- Bila hanya satu orang bisa timbil kesulitan.
- Pendelegasian wewenang.
4. STRUKTUR KOMUNIKASI :
- Variabel yang terpenting.
- Dari puncak hirarkhi sampai ke paling bawah.
- Juga perlu diperhatikan komunikasi horisontal.
5. STRUKTUR TUGAS :
- Sama dengan struktur peranan.
- Cara organisasi membagi-bagi tugas/pekerjaan kepada anggota-
anggotanya.
- Apakah semua pekerjaan terbagi habis ?
- Apakah semua anggota mendapat peranan ?
- Apakah hanya orang tertentu saja yang berperan ?
6. STRUKTUR STATUS DAN PRESTIS :
- Apa yang diperoleh dari organisasi dengan pengorbanan yang
diberikan ?
- Apakah prestis (gengsi) seseorang akan naik dengan menjadi
anggota organisasi ?
- Apakah prestis terbagi secara merata ?
- Apakah organisasi memiliki jenjang status yang terbuka bagi semua
anggota ?
7. JARAK PSIKOLOGIS :
- Antara orang yang di puncak (pengambil keputusan) dan orang- orang di bawah (yang melakukan pekerjaan).
- Komunikasi emosi antara orang-orang dalam hirarkhi.
- Menunjukkan kemudahan komunikasi ver-
tikal effektif/tidak.












III. Penutup


Didalam merancang struktur organisasi, kita harus memahami setiap dasar-dasar atau unsur apa saja yang harus di perhatikan. Dari semua unsur yang telah kita deskripsikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam merancang struktur organisasi selain pimpinan juga harus melibatkan anggota/karyawan sampai tingkat yang paling bawah. Namun tidak menutup kemungkinan kita akan menjumpai kendala-kendala yang diakibatkan struktur organisasi yang kita rancang, mungkin karena masalah spesialisasi kerja, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi ataupun formalisasi. Karena pasti setiap unsur-unsur tersebut seiring berjalannya waktu akan dijumpai kelemahan-kelemahan unsur tersebut.
Adapun saran guna berhasilnya dalam merancang dan menjalankan struktur organisasi ialah bagaiman cara pimpinan memberikan pelatihan agar terbentuknya keterampilan spsialisasi kerja anggota/karyawan, penentuan depatementalisasi atas dasar apa, melihat situasi dan kondisinya, menetukan jumlah yang optimum untuk rentang kendali yang mana apabila terlalu banyak akan susah diawasi dan disupervisi secara optimal, memberikan keleluasaan kepada anggota/karyawan menjadi lebih fleksibel namun tanggap dan melibatkan anggota/karyawan menampung ide-ide atau sarannya sehinga lebih terdesentralisasikan, dan yang terakhir memperjelas aturan main atau prrosedur di struktur organisasi.