BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seperti yang kita lihat dan mungkin kita rasakan sampai saat ini masalah keadilan sosial di indonesia masih menjadi pokok pembahasan yang menarik untuk dikaji. Keadilan sosial di indonesia seperti ada kesalahan sistem dalam menjalankan nya.
Pembahasan tentang keadilan sosial pastilah berkaitan dengan masalah – masalah yang sedang di hadapi negara kita saat ini, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, serta penegakkan hukum yang merata tidak pandang bulu. Tentu saja yang menjadi harapan kita adalah terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang di cita-citakan. Dalam Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, termasuk didalamnya adalah menimbang aspek keadilan sosial. Seperti yang kita lihat, mulai dari jaman sebelum negara ini merdeka, hingga sampai saat ini di masa reformasi seperti ini seakan-akan masalah-masalah keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat di negara tidak ada habisnya. Kita masih sangat sering melihat berita-berita seperti kelaparan, anak-anak tidak mendapatkan pendidikan, pengangguran yang jumlah nya masih sangat mengkhawatirkan, juga masih sering kita melihat atau mendengar fenomena-fenomena bahwa di negara kita ini ada yang tidak terjamin kesehatannya, serta masih minimnya keadilan dilembaga hukum dan peradilan di negara yang tercinta ini. Hasil amandemen UUD 45, Dibentuknya Pemerintahan Negara RI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh takyat Indonesia. Telah pula dinyatakan bahwa hak-hak konstitusional rakyat akan kesejahteraan, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; hidup sejahtera lahir batin; tempat tinggal; lingkungan hidup yang baik dan sehat; pelayanan kesehatan; perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan; jaminan sosial, pemeliharaan oleh negara bagi rakyat yang kurang beruntung perlu diwujudkan. Ini adalah kontrak moral negara terhadap bangsanya, bahwa negara akan menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat indonesia. Itu semualah hal-hal yang membuat pembahasan tentang masalah keadilan sosial menjadi menarik untuk dibahas lebih jauh lagi.
BAB II
Perumusan Masalah
Dengan melihat beberapa fenomena keadilan sosial pada latar belakang diatas, maka saya merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini. Antara lain adalah ;
1. Masalah pendidikan yang berkeadilan sosial.
2. Masalah pelayanan kesehatan masyarakat yang berkeadilan sosial.
BAB III
PEMBAHASAN
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini, keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan.
Keadilan sosial yang di maksud disini adalah kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya. Artinya bagaimana caranya agar pemerintah bisa menyelenggarakan atau menyediakan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam hal ini pendidikan yang sama rata dan nyata, jaminan kesehatan yang sama rata dan nyata, serta peradilan yang bersih yang sama rata dan nyata.
A. Masalah Pendidikan Yang Berkeadilan Sosial
Pendidikan adalah sarana bagi sebuah bangsa untuk mengembangkan peradabannya. Melalui Pedidikan gegayuhan dianyam dan diretas secara bertahap dan berjenjang. Resultante hasil pendidikan tersebut kemudian akan menentukan masa depan bangsanya.
Tujuan Pendidikan setiap bangsa itu unik karena setiap bangsa itu unik sesuai dengan sejarah keberadaannya, demikian pula dengan Indonesia. Alinea ke-empat dalam Pembukaan UUD 1945 berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan Pendidikan, alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas sekali bahwa tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia mengamanatkan untuk Memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Pendidikan dan Kesejahteraan masyarakat, secara umum, adalah dua hal yang saling berkaitan dan bisa berhubungan secara kausal, serta merupakan lingkaran peri. Maka harapan dilambungkan melalui pendidikan untuk menciptakan lingkaran peri tersebut agar terwujudnya asas dan peradaban yang lebih baik.
Dalam UU Sisdiknas Pasal 31,
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jadi, setiap warga Negara Indonesia di manapun berada berhak untuk memperoleh pendidikan dan hukumnya wajib untuk mengikuti di mana pemerintah wajib pula hukumnya untuk membiayai, karena disadari bahwa pembangunan adalah investasi peradaban bangsa.
Indonesia di samping berupa Negara kepulauan yang lebarnya kurang lebih sama dengan lebar benua Amerika dan lebih lebar dari benua Australia serta tersebar sejak India hingga Jepang, juga tidak lepas dari beban sejarah keberadaannya. Itu semua telah membuahkan keragaman dibidang Ekonomi, Sosial, Adat Istiadat, Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan yang akan membawa pengaruh langsung kepada Kesejahteran Masyaralat dan Pendidikan hingga kini. Menurut Sri Hartati Samhadi [Kompas 16 Sept 2004 Kamis, hal 17] 75% penduduk kategori miskin ada di pedesaan.
Karena demografi Indonesia mempunyai multi keragaman bawaan tersebut maka harus memperhitungkan keragaman tersebut dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ini sifatnya wajib sesuai dengan amanat UU. Ketika transportasi dan komunikasi masih menjadi masalah besar untuk menjangkau penduduk di wilayah-wilayah terpencil dan daerah di luar Jawa serta disparitas pendidikan dan lingkungannya itu ada maka pandangan dan pemikiran yang menepis keberadaan keragaman itu seharusnya lebih dicermati lagi secara arif yang dikaitkan dengankesamaan dalam berkeadilan.
Bersumber dari Media Indonesia (MI), di Cimahi Jawa Barat seorang siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) mendatangi DPRD kota itu meminta bantuan karena menunggak pembayaran uang SPP dan dana sumbangan pembangunan. Kedatangan Rizki yang ditemani ibu kandungnya Komariah, 34, ke gedung DPRD Kota Cimahi, diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Achmad Zulkarnain. “Saya malu, belum bayar SPP selama empat bulan dan uang DSP (dana sumbangan pembangunan). Makanya saya tidak mau ke sekolah,” kata Rizki sambil meneteskan air mata. Ia juga mengatakan terpaksa harus mengikuti ujian akhir semester susulan karena pihak sekolah mewajibkan Rizki membayar lebih dahulu dana DSP minimal Rp1 juta. “Saya tidak memperoleh kartu ujian, sebab yang diberi kartu ujian hanya siswa yang sudah membayar DSP minimal Rp1 juta. Sedangkan saya belum,” kata siswa kelas X SMKN 2 Cimahi itu. Ia mengatakan, karena malu, dirinya pun absen atau tidak masuk sekolah selama 10 hari. Tetapi, karena diberi semangat oleh sekretaris RT, Sutardi, 39, ia akhirnya diantar untuk menguruskan penundaan pembayaran kepada pihak sekolah. “Saya akhrinya bisa ikut ujian, dengan catatan tetap membayar DSP di kemudian hari,” kata Rizki. Sementara itu, Komariah berharap dengan mendatangi dan bertemu anggota DPRD Kota Cimahi cita-cita anaknya untuk menimba ilmu di bangku SMK hingga selesai bisa terwujud.
Melihat kejadian diatas sangatlah jelas bahwa belum berjalan dengan baik sistem keadilan sosial pada pendidikan di indonesia. Keadilan secara umum dikenal dari tiga pespektif yang berbeda, yaitu keadilan distributif, ekonomi, dan hukum. Namun Indonesia dalam cita-cita proklamasinya sudah menegaskan mengenai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan yang memenuhi rasa Keadilan Sosial adalah pendidikan yang memperhatikan keberadaan keragaman baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Oleh karena itu, semua kebijaksanaan pemerintah harus mampu untuk menjadi fondasi yang kokoh bagi kebijaksanaan pendidikan. Kita berharap besar akan kebijaksanaan pemerintah yang kokoh dan meng-Indonesia. Semoga kedepannya seiring dengan berkembangnya jaman pendidikan di negara kita bisa lebih memikirkan asa keadilan sosial untuk seluruh rakyat indonesia.
- Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Berkeadilan Sosial
Membahas tentang kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi yunani, asclepius dan higeia. Berdasarkan mitos yunani tersebut asclepius disebutkan sebagai seorang dokter yang tampan dan pandai meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang ditempuh nya, tetapi dikatakan dia dapat melakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit bahkan dapat melakukan bedah berdasarkan prosedur tertentu.
Sedangkan higeia adalah asisten dokter asclepius, yang kemudian dikatakan sebagai istrinya, juga telah melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara asclepius dan higeia dalam pendekatan masalah kesehatan adalah asclepius lebih berorientasi pada saat penyakit itu telah muncul pada seseorang ato masyarakat sedangkan higeia lebih pada pendekatan ke masyarakat untuk menjaga kesehatan dengan memperhatikan lingkungan tempat tinggal masyarakat dan apabila penyakit telah muncul pada seseorang atau masyarakat higeia juga lebih kepada cara-cara alamoah untuk mengobati nya.
Pemahaman saya soal kesehatan di indonesia agar bisa terwujud asas keadilan sosial seharusnya pemerintah bisa lebih berorientasi pada pemeliharaan kesehatan masyarakatnya, dengan memprioritaskan untuk sosialisasi tentang kesehatan yang sangat mahal harganya itu. Dan diharapkan pemerintah juga bisa memanfaatkan kekayaan alam negara ini untuk lebih diarahkan sebagai obat-obatan alamiah untuk masyarakatnya. Sehingga masyarakat bisa merasakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial, khususnya masyarakat yang ekonominya kita katakan kurang beruntung. Dan ini masih ada relevansinya denga pokok pembahasan kita yang awal, yaitu pendidikan. Ketika pendidikan di negara kita telah meningkat tentu harapan kita adalah terjamin nya kesehatan seluruh masyarakat atas asas keadilan sosial tersebut.
Di Indonesia Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Pasal 2 :
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender
dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Bersumber dari Media Indonesia (MI), di Makassar Sulawesi Selatan empat rumah sakit menolak merawat bayi penderita tumor. Apa kendalanya? Apalagi kalo bukan karena pasien tersebut tidak memiliki biaya.
MAKASSAR—MI: Nasib malang dialami bayi Nurazizah yang masih berusia 3 bulan. Bayi penderita tumor di wajah ini ditolak empat rumah sakit yang ada di Kota Makassar untuk mendapat perawatan.
Hasnah, ibu Nurazizah, mengatakan dirinya merasa dipingpong oleh rumah sakit yang tidak mau menerima anaknya untuk dirawat. “Setiap ke rumah sakit, saya ditolak. Mungkin karena saya tidak punya biaya,” ungkap Hasnah, Selasa (29/12).
Nurazizah, anak kedua Hasnah dari suaminya Iwan, lahir di sebuah gubuk kecil di tengah rawa-rawa di belakang kompleks Minasa Upa Blok A10, Kecamatan Rappocini. Bintik-bintik merah yang berada di pipi kanan anak tersebut mulai tampak saat baru berisia tiga hari. Awalnya tidak terlalu dihiraukan karena diduga gigitan nyamuk, tapi seminggu kemudian, bintik merah tersebut menyatu gelembung merah. Hasna kemudian membawa anaknya ke Puskesmas Minasa Upa. Karena diduga tumor, puskesmas merujunya ke Rumah Sakit Labuangbaji. Berbekal kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Hasna berangkat ke RS Labuang baji, di loket pendaftaran ia diminta menuju ke ruang bedah sentral. Namun Hasnah diminta uang Rp75 juta. “Katanya nanti setelah bayar baru bisa operasi,” terang Hasnah. RS Labuangbaji kemudian merujuk ke RSUD Regional Dr Wahidin Sudirohusodo yang merupakan rumah sakit pemerintah. Di rumah sakit tersebut, Hasnah dimintai uang Rp10 juta. Seperti sebelumnya, karena tidak memiliki uang, Hasnah kembali membawa anaknya pulang. Karena sudah ditolak dua rumah sakit karena tidak punya dana, Hasna pun mencoba peruntungannya di RS Dadi dan RS Haji, Makassar. “Di dua rumah sakit tersebut, jangankan diperiksa, saat sudah saya katakan saya tidak punya biaya kalau untuk operasi, saya langsung disuruh pulang,” kata Hasna sedih. Saat ini tumor yang tumbuh di wajah anaknya itu sudah menyebabkan keluarnya darah dari mata sang anak. Saat dikonfirmasi, Wakil Direktur RS Labuangbaji Nani Dyah Laksmiwati membantah jika pihak rumah sakit Labuangbaji menolak untuk perawatan Nurazizah. Menurutnya RS Labungabaji tidak mempunyai ketersediaan peralatan untuk memberikan tindakan operasi. “Kami akan mengawal kondisi pasien dan meminta rujukan pengobatan untuk diperbaharui kembali,” tandas Nani.
Kutipan berita diatas merupakan wujud nyata belum terlaksana dengan baiknya sistem pelayanan kesehatan masyarakat berkeadilan sosial. Seharusnya pemerintah jika bisa memprioritaskan untuk pencegahan, jika masyarakatnya mengerti soalnya pentingnya kesehatan.
Banyak bukti tak perlu sekaya orang Swiss untuk menjadi sesehat mereka. Banglades salah satunya. Dengan anggaran kesehatan tidak tinggi, Banglades berhasil mendongkrak derajat kesehatan rakyatnya menjadi lebih baik dari kita. Caranya, rakyat dibuat cerdas agar tidak sakit. Gurunya, puskesmas.
Hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan layanan kesehatan swasta. Sebagian besar menggantungkan kesehatannya pada puskesmas. Sudah lama kita mencanangkan paradigma sehat diterjemahkan dalam sejumlah program puskesmas. Kondisi kita lebih kurang sama dengan Banglades. Namun, jika derajat kesehatan kita belum sebagus mereka, apa yang keliru dengan pembangunan kesehatan kita?
Bisa jadi karena peran dokter puskesmas belum kuat. Belum semua program puskesmas utuh berjalan. Harus diakui jika jam kerja dokter puskesmas banyak dihabiskan buat mengobati ketimbang layanan pencegahan.
Jika lapangan yang menjadi wilayah tanggung jawab puskesmas tidak digarap, yang berobat tak kunjung berkurang. Artinya, anggaran puskesmas yang mestinya buat upaya preventif habis buat belanja obat.
Idealnya, dua pertiga jam kerja puskesmas untuk kegiatan lapangan. Mungkin karena kelebihan bobot kerja, minimnya tenaga, atau tiadanya kemauan, rata-rata puskesmas kurang menggarap lapangan.
Dengan swadaya masyarakat, dan banyak lagi. Padahal, itu semua diberlakukannya otonomi daerah diharapkan sektor kesehatan bertambah baik. Yang terjadi sebaliknya. Kita kehilangan kader kesehatan, posyandu, gerakan penunjang terlaksananya primary health care, pilihan termurah yang mampu mendongkrak kesehatan Banglades lebih baik dari kita.
Masalah kesehatan kita sejak awal berhulu dari rendahnya pengetahuan kesehatan sebagian masyarakat, buruknya sanitasi, dan lemahnya ekonomi rata-rata keluarga. Solusinya, penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi). Namun, itu saja tak cukup.
Hambatan komunikasi dan gap edukasi puskesmas-masyarakat mendesak hadirnya petugas kesehatan ke tiap rumah. Puskesmas berperan memampukan masyarakat mencegah penyakit, terlebih di daerah terpencil.
Untuk kondisi kita masalah kesehatan yang kompleks dan luas, bukan Cuma perlu menambah dokter puskesmas, tetapi butuh dokter dengan kualitas khusus. Dokter yang disiapkan menggarap lapangan bersedia berkeliling dari rumah ke rumah (bare foot doctor) seperti China melakukannya di awal-awal pembangunan kesehatan.
Dalam kunjungan rumah, dokter dapat melihat masalah kesehatan tiap keluarga di wilayah tanggung jawabnya. Tiap keluarga mendapat solusi yang belum tentu seragam dengan tetangganya sehubungan dengan peningkatan derajat kesehatannya.
Pada kesempatan sama, dokter memberi nasihat mengisi kekurangan medis terkait dengan kondisi kesehatan masing- masing keluarga atau apa saja sehubungan dengan upaya preventif. Tanpa memilih bersikap menjemput bola, tak semua program puskesmas menyentuh rakyat. Padahal, menjadi sehat itu hak tiap rakyat.
Dengan rutin berkeliling, dokter puskesmas kian mengenal medan sekaligus memetakan masalah kesehatan untuk dicarikan solusinya. Kelemahan rata-rata program kesehatan kita adalah tidak semua program dari pusat menyelesaikan masalah kesehatan daerah. Juga, tak semua program kesehatan daerah menyelesaikan masalah kesehatan kecamatan atau desa.
Munculnya kembali demam berdarah, penyakit kaki gajah, malaria, flu burung secara sporadis di daerah tertentu, misalnya, awalnya masalah lokal desa semata. Namun, karena kemunculannya tak segera diredam, biasanya menunggu perintah pusat, Cuma soal waktu ancaman penyebaran penyakit berkembang menjadi masalah nasional, seperti ledakan demam berdarah tempo hari.
Kehadiran peran “dokter rakyat” berpeluang menemukan dan menyelesaikan semua masalah kesehatan lebih jeli dan cepat di tingkat desa, rukun tetangga, bahkan keluarga.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada makalah ini dapat kita berikan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan berkeadilan sosial di indonesia masih sangat rendah, tidak menutup kemungkinan bahwa adanya kesalahan dalam sistem atau mekanisme untuk mengembangkan pendidikan yang berkeadilan sosial. Itu terlihat pada program yang ada tidak berjalan dengan baik seperti terlihat masih ada kasus yang memberatkan anak didik untuk membayar SPP atau sumbangan pembangunan dengan mengancam tidak dapat mengikuti ujian.
Juga sama halnya dengan pendidikan, kesehatan masyarakat di indonesia pun sepertinya belum berjalan optimal. Masyarakat sangat jarang mendapatkan sosialisasi tentang kesehatan masyarakat agar masyarakat setidaknya bisa mengerti dan faham untuk bisa menjaga kesehatannya dan pemerintah pun belum terlihat optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat belum terlihat adanya keadilan sosial yang merata dalam pelayanan tersebut. Seperti yang terjadi di makasar itu contohnya.
B. Saran
Adapun saran yang ingin saya sampaikan adalah seperti misalnya pada hal pendidikan yang berkeadilan sosial, tentu saja akan bicara soal dana yang bisa dibilang tidak sedikit, namun hal tersebut akan dapat teratasi jika pada dasarnya kita mengerti apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan agar dapat menjalankan sistem berkeadilan sosial tersebut.
Sama halnya dengan dunia pendidikan, dalam hal untuk menyelenggarakan kesehatan masyarakat tentu saja yang menjadi masalah ada dana. Tetapi untuk hal ini agar dapat terwujudnya kesehatan masyarakat yang berkeadilan sosial sebenarnya lebih relevan ke masalah tenaga dokternya, jika kita bisa sperti bangladesh mempersiapkan tenaga dokter yang betul-betul siap mengabdi untuk masyarakat, bisa aja mudah-mudahan kedepannya pemerintah dengan program bea siswa agar bisa menyediakan dokter yang siap mengabdi untuk masyarakatnya sehingga tercipta pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial.
BAB V
REFRENSI
2. http://www.csrc.or.id/research/index.php?detail=20080626082144
3. http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=777
4. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4560&coid=2&caid=42&gid=3
5. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/1/4b617a630a72f67b990422cadfb0eb0eb1063f4b.pdf
BAB VI
LAMPIRAN