Kamis, 18 Maret 2010

mengenal gender lebih dekat dan singkat

I. DEFINISI GENDER

Gender penting untuk dipahami dan dianalisis untuk melihat apakah perbedaan yang bukan alami ini telah menimbulkan diskriminasi dalam arti perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap perempuan.
Apakah gender telah memposisikan perempuan secara nyata menjadi tidak setara dan menjadi subordinat oleh pihak laki-laki.

Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut. Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja dan media.

Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial. Masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender. (Retno Suharti, 1995)

Gender juga disebut sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang (Fakih, 2007)

Gender adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, tanggung jawab, fungsi, hak, sikap dan perilaku yang telah dikonstruksi oleh sosial atau budaya yang dapat berubah-ubah sesuai kemajuan zaman. Perbedaan tersebut tidak jarang memunculkan permasalahan atau isu gender.

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) secara tegas menyatakan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini :
• Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya
• Gender sebagai suatu kesadaran sosial
• Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya
• Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis
• Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan

II. KONSEP GENDER

Istilah gender sebagai konsep dikenalkan antara lain oleh H.M. Lips dalam bukunya “sex and gender : anintroduction to gender.” Oleh H.M. Lips, gender diperkenalkan sebagai istilah yang diartikan sebagai “cultural expactations for women and men” (harapan kultural untuk perempuan dan laki-laki).

Ada beberapa aliran teori yang menganggap bahwa gender, yaitu pembagia peran dan pembedaan jenis kelamin, terbentuk secara alami karena perbedaan biologisnya (nature), misalnya antara lain :
a. Teori adaptasi awal
Pada prinsipnya teori ini menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual, sekaligus dasar subordinasi perempuan. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi terdahulu antara fungsi laki-laki berburu untuk mencari daging dan wanita tidak melakukan hal tersebut.
b. Teori teknik lingkungan
Teori ini didasarkan pada apa yang dianggap hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya alam dan tekanan penduduk. Teori menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah ada sejak jaman dahulu. Dalam konteks ini perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.

Kemudian ada teori yang beranggapan bahwa pembagian peran dan pembedaan jenis kelamin adalah hasil konstruksi sosial budaya (nurture), seperti :
a. Teori struktural
Teori ini adalah serangkaian teori yang dikelompokkan dalam kategori struktural dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus struktural. Satu kelompok teori yang beranggapan bahwa perempuan berstatus lebih rendah, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki, karena perempuan berhubungan dengan area domestik. Sebaliknya dengan laik-laki, yang bergelut dengan dunia publik. Pembagian bidang kehidupan menjadi arena publik dan domestik ini dianggap universal. Akar dari pembagian ini adalah tanggung jawab perempuan dalam proses kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik.
Kelompok lain dari kategori teori struktural berargumentasi bahwa subordinasi perempuan itu kultural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan alam (nature) dan laki-laki dengan budaya (culture).
b. Teori struktural-fungsionalis
Teori ini muncul tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori ini mengemukakan bagaimana memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan.
Teori ini mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang berlandaskan konsensus nilai-nilai agar terjadinya interrelasi yang demi sesuatu dinamakan harmoni, stabilitas dan keseimbangan(equilibrium). Sistem ini mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai,sehingga fungsi dan struktur seseorang dalam sistem menentukan tercapainya stabilitas atau harmoni tersebut. Ini berlaku untuk semua sistem sosial : agama, pendidikan, struktur politik, samapi rumah tangga, dalam hal ini mengenai gender. Sosialisasi fungsi dan struktur tersebut dilakukan dengan institusionalisasi, melalui norming, atau norma-norma yang disosialisasikan.
c. Teori konflik sosial
Teori ini meyakini bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh konflik. Konflik ini timbuk karena adanya kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Bila salah satu kepentingan yang memiliki kekuasaan memenangkan konflik, maka dia akan menjadi dominan dan melanggengkan sistem sosial yang telah terbentuk.
Teori ini sangat sinis terhadap kekuasaan, kemapanan, sifat borjuis, sistem kapitalis, dan semua hal yang memiliki strata dan struktur. Teori ini juga memandang institusionalisasi sebagai sistem yang melembagakan pemaksaan. Istilah mereka adalah “imperatively coordinate association”, yaitu pemaksaan koordinasi relasi sosial dalam sebuah sistem. Dalam hal ini termasuk juga hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (gender).

Berbicara konsep gender tentu saja ada kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan gender untuk membangun keharmonisan berbangsa, bernegara dan membangun keluarga yang berkualitas, yang mana di indonesia jumlah penduduknya hampir setengah adalah perempuan dan merupakan potensi yang sangat besar dalam menunjang pembangunan.
Adapun yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Maka dengan itu terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Berikut adalah bentuk-bentuk ketidakadilan gender, antara lain :
1. Marjinalisasi
Yaitu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Kebijakan pembangunan, perkembangan teknologi dan anggapan tertentu yang berkembang di masyarakat tak jarang mengakibatkan terjadinya pembatasan dan pemisahan jenis dan peluang pekerjaan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Subordinasi
Yaitu menilai peran jenis kelamin lain lebih rendah, adanya anggapan bahwa tidak perlu memegang jabatan terlalu tinggi.
Pada dasarnya keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sejak lama ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun aturan dalam birokrasi yang menempatkan kaum perempuan dalam tataran subordinat. Perempuan, seperti halnya anak-anak, dianggap sebagai pihak yang hanya dijadikan pengikut saja dalam berbagai aspek kehidupan yang didominasi laki-laki.
3. Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau anggapan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe tak jarang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Stereoyipe suku bangsa, misalnya bangsa yahudi di barat dan masyarakat cina di asia tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut dalam berinteraksi dengan suku bangsa lain. Perempuan pun tak luput dari stereotipe ini. Banyak budaya yang menganggap tugas utam kaum perempuan adalah melayani suami dan mengurus anak-anak saja. Tugas perempuan hanya di wilayah sumur, dapur dan kasur. Contoh lain dari stereotipe gender, seperti penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing lawan jenisnya. Sehingga seringkali dalam kasus-kasus pelecehan seks terhadap perempuan, kaum perempuanlah yang dituding sebagai pemicunya. Dalam hal ini sang korban justru menjadi yang dipersalahkan.
4. Kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kekuatan. Kekerasan terhadap sesama manusia berasal dari banyak sumber, namun salah satu sumbernya adalah anggapan gender. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan kekerasan gender, anatara lain :
1. Perkosaan,termasuk yang terjadi dalam perkawinan
2. Pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga
3. Penyiksaan terhadap organ alat kelamin
4. Pelacuran
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi
6. Pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana
7. Kekerasan terselubung, yaitu memegang atau menyentuh bagian tubuh tertentu dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh
8. Pelecehan seksual, seperti menyampaikan lelucon jorok, membuat malu dengan omongan kotor, menyenggol bagian tubuh tertentu tanpa seizin yang bersangkutan.
5. Beban kerja (double burden)
Anggapan bahwa pekerjaan domestik adalah tanggungjawab kodrati perempuan, seringkali menyebabkan perempuan harus bekerja lebih berat dan lebih lama dibanding laki-laki tanpa memperoleh pengharagaan yang seimbang. Fenomena ini banyak tampak pada kaum miskin, perempuan terpaksa bekerja dengan tetap wajib mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengurus anak dan rumah. Bagi kelas menengah dan orang kaya, beban ini biasanya dialihkan pada pembantu rumah tangga.

Faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender :
1. Nilai sosial dan budaya patriarkhi
2. Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender
3. Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial
4. Kelemahan kurang percaya diri, tekad dan inkonsistensi kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasibnya.

III. PENGARUSUTAMAAN GENDER

Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan orogram yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
1. Cakupan dan batasan
Untuk mengetahui lebih dalam lagi terkait pengarusutamaan gender maka yang perlu dilakukan yaitu memahami pengarusutamaan gender (PUG) dalam kebijakan dan program sektoral, yaitu :
a. Memasukkan permasalahan gender dalam program pembangunan
b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan
c. Suatu usaha untuk memasukkan kerangka gender kedalam desain, pelaksanaan rencana dan program sektoral
d. Pengakuan adanya suatu arus utama dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan
e. Bukan hanya memadukan isu gender kedalam arusutama (mainstream), tetapi mengubah arusutama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan
Dalam lampiran instruksi presiden RI No. 9 Tahun 2000, dapat disimak, bahwa beberapa pengertian tentang pengarusutamaan gender (PUG) telah disusun dan dikembangkan oleh berbagai pihak. Laporan dewan ekonomi PBB 1997, menyebutkan bahwa PUG adalah suatu proses penilaian implikasi dari setiap rencana aksi bagi perempuan dan laki-laki, mencakup aturan, kebijakan-kebijakan atau program-program pada tiap bidang disemua tingkatan pembangunan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat membuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu :
a. Perencanaan
Menyusun pernyataan dan tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki
b. Pelaksanaan
Memastikan bahwa strategi yang dijelaskan memiliki dampak pada perempuan dan laki-laki
c. Pemantauan
Mengukur pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.
d. Penilaian (evaluasi)
Memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih setara/seimbang sebagai hasil prakarsa tersebut.
2. Siapa yang melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG)
Adapun yang melaksanakannya antara lain sebagai berikut :
a. Lembaga- lembaga pemerintah
b. Dunia usaha
c. LSM/ organisasi perempuan
d. Organisasi swasta
e. Organisasi profesi
f. Organisasi keagamaan
3. Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG)
Beberapa pelaksanaan dalam pengarusutamaan gender, antara lain ialah :
a. Analisis gender
Dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidaknya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahan.
b. Upaya komunikasi, informasi dan edukasi
Dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah tentang gender.
Dalam hal ini ada beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, yaitu :
1. Sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan workshop
2. Pelatihan, fasilitas gender analysis dan gender budget
3. Fasilitas penyusunanrencana tahunan sektor, renstra dan rencana tahunan daerah
4. Pembuatan data terpilah sektor plus gender profile
5. Menyusun modul pelatihan, modul komunikasi informasi dan edukasi serta panduan pengarusutamaan gender (PUG)
6. Melakukan kajian/evaluasi dan pengembangan bidang strategis dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender
7. Koordinasi, monitoring dan evaluasi
4. Prinsip penerapan pengarusutamaan gender di indonesia
Kementerian permberdayaan perempuan, dalam mensosialisasikan PUG dan penerapannya di indonesia mengenai prinsip yang mengacu pada teori-teori gender sebgai berikut :
a. Menghargai keragaman pluralistis
Yaitu menerima keragaman etnis budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan potensial dan keragaman yang perlu dipertahankan didalam pengarusutamaan gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.
b. Bukan pendekatan dikotomis
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.
c. Melalui proses pemampuan sosialisasi dan advokasi
Prinsip yang penting dalam PUG di indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi.
Pelaksanaan PUG tidak semudah membalikan telapak tangan atau ibarat memakan “cabe” begitu digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
d. Menjunjung nilai HAM dan demokrasi
Pendekatan PUG di indonesia tifak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Penerapan PUG selalu menjunjung tinggi nilai-nilai hak azasi manusia dan demokrasi, sehingga akan diterimaoleh lapisan masyarakat secara sadar.
5. Ruang lingkup pengarusutamaan gender
Ruang lingkup pengarusutamaan gender mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan secara rasional baik dalam tahapan membuat kebijakan maupun program, di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Perencanaan kebijakan merupakan penentuan tujuan dan sasaran pembanguan, sedangkan perencanaan program merupakan operasionalisasi dari kewenangan pemerintah yang dilakukan pada setiap lingkup pemerintahan diberbagai tingkatan wilayah.
Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan lainnya yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek seperti : peran, akses, manfaat dan kontrol yang dilakukan secara setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini berarti bahwa perencanaan tersebut perlu mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, dan permasalahanpihak perempuan maupun laki-laki, baik dalam proses penyusunannya maupun pelaksanaan kegiatan, sehingga perencanaan ini aka terkait dalam perencanaan kebijakan maupun perencanaan program sampai operasionalisasinya dilapangan.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan PUG perlu didukung dan diefektifkan dengan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemampuan para pelaksana pengarusutamaan gender
2. Peyusunan perangkat analisis, pemantauan, dan penilaian
3. Pembentukan pelaksana PUG, antara lain :
a. Forum komunikasi
b. Kelompok kerja
c. Panitia pengarah (steering committee)
d. Tim penggerak PUG (gender focal point)
4. Pembuatan kebijakan formal yang mampu mengembangkan komitmen kesegenapan jajaran pemerintah dan swasta serta disemua tingkatan, propinsi, kabupaten dan kota. Pembentukan mekanisme jejaring kerja yang melibatkan semua stakeholders dalam proses PUG.
5. Pembentukan kelembagaan PUG pada instansi pemerintah disetiap tingkatan wilayah.
Mekanisme kerja instansi pemerintah dalam melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG) :
a. Penanggung jawab dan perumus kebijakan tentang pengarusutamaan gender secara nasional dilakukan oleh kementerian pemberdayaan perempuan.
b. Pelaksana pengarusutamaan gender dilakukan oleh semua instansi pemerintah tingkat pusat, pemerintah daerah dan LSM yang peduli pada kesetaraan dan keadilan gender.
c. Penanggung jawab operasional di tingkat daerah dipegang oleh gubernur atau bupati/walikota yang secara teknis dilaksanakan oleh biro/bagian/seksi yang menangani program pemberdayaan perempuan didaerah.
d. Kerjasama koordinasi antara institusi dan LSM melalui kelompok kerja untuk menyatukan langkah dan mengevaluasi pelaksanaan PUG guna dilaporkan kepada bupati/walikota, gubernur dan presiden.
c. Pemantauan dan evaluasi
Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang sudah disusun (direncanakan) perlu dipantau dan dievaluasi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
• Dapat dipertanggung jawabkan
• Tepat waktu
• Sederhana : efektif dan efisien (tepat guna)
• Transparan, dapat dipercaya dengan data yang valid
• Menggunakan data terpilah menurut jenis kelamin
• Adanya indikator dan tolok ukur
Pemantauan dan evaluasi PUG mencakup pertanyaan-pertanyaan :
a. Sejauh mana prakondisi dan komponen kunci PUG telah ada.
b. Sejauh mana perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber-sumber daya dan fasilitas-fasilitas serta pelayanan-pelayanan kegiatan.
c. Sejauh mana para staf, mitra kerja, kelompok sasaran, baik perempuan atau laki-laki telah atau belum berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta dalam pelaksanaan program.
d. Sejauh mana kinerja kegiatan staf telah responsif gender.

6. Prosedur dan langkah-langkah PUG
Dalam melaksanakan PUG beberapa hal/prosedur harus diperhatikan, yaitu :
a. Inventarisasi pendataan peserta pelatihan/advokator.
b. Melaksanakan pelatihan.advokasi untuk memberi kepekaan dan kesadaran gender bagi para pengambil kebijakan maupun praktisi pembangunan.
c. Memahami visi, misi dan program organisasi, serta menilai kepekaan gender yang terkandung di dalamnya.
d. Mengembangkan strategi operasioanl dan program aksi dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan organisasi.
e. Menyediakan pangkalan data yang akurat yang dikumpulkan dan disajikan secara terpilah menurut jenis kelamin. Data dimaksud dikumpulkan baik oleh BPS maupun oleh masing-masing sektor/departemen/lembaga, yang secara rutin diperbaharui.
f. Menyediakan data statistik gender yang muncul karen permasalahan ketimpangan di dalam memperoleh akses, manfaat peran dan kontrol atas sumber daya pembangunan, sekaligus memahami penyebab masalah kesenjangan tersebut.
g. Menyediakan piranti analisis gender.
h. Menyusun atau menyediakan indikator yang sensitif gender, baik yang kuantitatif maupun kualitatif dalam rangka mekanisme pemantauan dan penilaian.
Berdasarkan prosedur diatas, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pengarusutamaan gender adalah sebagai berikut :
a. Meninjau dan menelaah kembali amanat dan pesan yang terkandung dalam berbagai kesepakatan nasional maupun internasional, misalnya PROPENAS, ICPD dan lain-lain.
b. Mempelajari statistik gender yang perlu ditangani dan memformulasikan cara menanganinya.
c. Mengidentifikasi masalah gender yang mempengaruhi program dan kegiatan.
d. Meninjau kembali berbagai kebijakan, visi, misi dan tujuan organisasi untuk menilai :
• Buta gender : tidak memperhatikan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda, atau tidak menyebutkan secara ekplisit perempuan dan laki-laki.
• Bias gender : kebijakan dan program yang mementingkan laki-laki, dan sama sekali mengabaikan perempuan atau sebaliknya.
• Manfaat gender : sejauh mana perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat manfaat dari program dan kegiatan tersebut.
e. Kalau ada bias, formulasikan kembali secara eksplisit kebijakan dan program tersebut untuk memastikan bahwa manfaat yang sama akan diperoleh laki-laki dan perempuan.
f. Untuk setiap pertanyaan dan rencana kebijakan, tunjukkan kegiatan utama yang harus dilakukan agar tecapai tujuan kebijakan. Tugas-tugas, peran dan tanggung jawab semua pihak harus teridentifikasi.
g. Paparkan advokasi kebijakan, rencana, tujuan dan kegiatan yang telah direvisi, kepada pejabat berwenang untuk memperoleh komitmen dan dukungan politik untuk membentuk gender focal points serta alokasi sumber daya bagi pelaksanaannya.
h. Adakan sosialisasi suatu pertemuan orientasi dengan staf yang bersangkutan untuk memberitahukan tentang kebijakan secara sektoral yang sudah direvisi.
i. Susun gender focal point pada setiap departemen yang terdiri dari wakil-wakil setiap unsur departemen (jumlah perempuan dan laki-laki yang seimbang) dengan mandat berikut :
• Meninjau kembali kebijakan dan rencana yang direvisi.
• Operasionalisasi kebijakan dan rencana.
• Memantau pelaksanaan rencana.
• Mengumpan balik penemuan-penemuan pada pejabat yang berwenang.
j. Menyusun petunjuk pelaksanaan kebijakan dan program aksi.
7. Identifikasi permasalahan gender
Permasalahan gender dapat ditinjau dari empat aspek, meliputi :
a. Sosial budaya
Kondisi yang diciptakan atau direkayasa oleh norma (adat istiadat) yang membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kemampuan. Baik kemampuan universal seperti intelektual maupun kemampuan spesifik (khusus) yang berkaitan dengan aspek pisik biologis.
b. Agama
Penafsiran yang berbeda atau pemahaman yang kurang lengkap terhadap dalil agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan agar mencapai suasana yang harmonis, damai dan sejahtera.
Agama mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan tuhannya maupun mengatur hubungan horizontal anatara sesamanya.
c. Ekonomi adanya anggapan bahwa perempuan dengan bentuk dan keterbatasan pisik biologis ikut dikondisikan sebagai makhluk yang kurang produktif dalam bidang ekonomi, sedangkan laki-laki dikondisikan sebagai unsur pencari nafkah yang lebih produktif. Sehubungan dengan itu laki-laki memperoleh kesempatan untuk berperan dalam berbagai sumber pembangunan. di indonesia, dalam tumah tangga perempuan dipolakan sebagai unsur pengatur/pengguna penghasilan suamin (laki-laki), dengan pembagian tugas antara yang menghasilkan dan yang mengatur pengeluaran.
d. Peraturan perundang-undangan
Secara hukum menurut UUD 1945 laki-laki dan perempuan sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan dan membela negara. Namun bila diamati secara teliti dan cermat dari ketentuan dasar tersebut masih dirasakan adanya pembedaan (diskriminasi) terhadap kaum perempuan dalam berbagau hal, antara lain dalam kesempatan pendidikan, perlakuan dan penggajian di tempat kerja, perlindungan terhadap tindak kekerasan termasuk hak-hak reproduksinya.

IV. MENGAPA PENGARUSUTAMAAN GENDER ITU PERLU

Pengarusutamaan gender diperlukan agar terwujudnya hal berikut :
a. Pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada rakyatnya, perempuan dan laki-laki.
b. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi semua rakyat, perempuan dan laki-laki.
c. Pengarusutamaan gender merupakan upaya menegakan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan dan penghargaan yang sama dimasyarakat.
d. Pengarusutamaan gender mengantar kepada pencapaian kesetaraan gender dan karenanya PUG meningkatkan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya.
e. Keberhasilan pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial politik dan ekonomi suatu bangsa.
Bicara soal apa keperluan dalam hal pengarusutamaan gender itu artinya kita membahas apa sebenarnya tujuan dan sasaran pengarusutamaan gender. Seperti tercantum dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000, tujuan PUG adalah :
a. Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender.
b. Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasim sebagai dampak bias gender.
c. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melaksanakan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
Sasaran PUG
PUG akan berhasil jika secara konsisten dan bertanggung jawab dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat bauk yang bergabung dalam lembaga pemerintah (departemen dan non departemen), organisasi perempuan, LSM, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Para pelaksana dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan sasaran utama dari PUG seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000. Dengan kewenangan yang dimiliki, sumber daya manusia (SDM) yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan yang berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan (policy maker), dan perencanaan program (technical planning), lembaga-lembaga pemerintah mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya. Begitu pula LSM/organisasi perempuan, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi keagamaan dan lain sebagainya, adalah organisasi yang sangat menguasai keadaan di lapangan dan dekat dengan masyarakat.
Beberapa keuntungan menyelenggarakan PUG adalah :
a. Memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan.
b. Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan.
c. Memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan.
d. Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar